Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DALAM 10 tahun terakhir bencana hidrometerologi yang terdiri dari banjir, longsor, dan puting beliung merupakan bencana yang paling banyak memakan korban. Akan tetapi, sampai saat ini peta rawan banjir dan longsor belum dimiliki pemerintah.
Karena itu, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan meminta semua pihak terkait mesti besinergi dalam membuat peta rawan banjir dan longsor dengan harapan dapat meminimalkan dampak bencana tersebut. “Karena itu, kami minta Kemendagri, BNPB, kementerian dan lembaga terkait serta pemda bersinergi dalam membuat peta rawan banjir dan longsor,’’ kata Menko PMK Puan Maharani pada rapat koordinasi tingkat menteri mengenai antisipasi bencana banjir dan tanah longsor, yang tengah terjadi di berbagai wilayah di Tanah Air, di Jakarta, kemarin.
Rakor dihadiri Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampanggilei, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful, dan perwakilan kementerian/lembaga serta pemda terkait.
Puan menjelaskan dalam urusan koordinasi bencana, BNPB juga harus lebih proaktif. Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah pun harus lebih bersinergi menanggulangi bencana, seperti sigap menyiapkan posko siaga darurat bencana banjir dan longsor.
“Harus dipastikan juga Kominfo selalu memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.”
Puan juga meminta Kementerian PU-Pera dan BMKG berkoordinasi dengan BNPB dalam memeriksa infrastruktur secara berkala dan update data harian kondisi cuaca yang berpotensi bencana serta memasang sistem deteksi dini bencana. Berdasarkan Inpres No 4 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor, setiap K/L dan pemda memiliki tugas dan fungsi masing-masing, mulai pencegahan, penanganan saat bencana, dan penanganan pemulihan pascabencana.
Peta rawan banjir
Pentingnya peta rawan banjir dan longsor dijelaskan Kepala BNPB Willem Rampangilei mengingat jumlah penduduk yang terancam di kawasan banjir mencapai 63,7 juta jiwa, sedangkan 40,9 juta jiwa berada di kawasan rawan longsor.
“Saat ini kami baru memiliki peta rawan bencana secara keseluruhan, di 35 provinsi dengan skala 1:250.000,” ucapnya.
Menurut Willem, peta rawan bencana banjir dan longsor membutuhkan skala 1:50.000 di tingkat kabupaten/kota. Peta dengan skala itu sudah dimiliki BNPB di 100 kabupaten/kota dari sekitar 500 yang dibutuhkan meski masih berupa peta bencana secara umum. Padahal, bencana lainnya ialah kebakaran hutan dan lahan, tsunami, hingga erupsi gunung berapi.
Kepala BMKG Andi Eka Sakya menambahkan, ada tren potensi banjir dan longsor meninggi seiring dengan perpaduan dipole mode yang terjadi di Afrika Timur dan fenomena La Nina di kawasan Pasifik. Akibatnya terjadi kemarau basah dan percepatan masuknya musim hujan di 70% kawasan Indonesia.
“Mulai Agustus sampai Oktober, 92,7% wilayah Indonesia masuk musim hujan,” ucap Andi.
Meskipun dipole mode saat ini mulai meluruh dan diperkirakan mengecil dan berkurang pada November, Andi menyatakan kondisi sebaliknya justru terjadi pada La Nina. (Ric/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved