Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

Saatnya Berhenti Menjajah Bangsa Sendiri!

Hera Khaerani
02/8/2015 00:00
Saatnya Berhenti Menjajah Bangsa Sendiri!
(MI/CAKSONO)
PERABOT, ornamen, dan bangunan restoran tua di Kota Malang ini menjadi saksi sejarah sejak masa kolonialisme di Tanah Air.

Sejatinya, nostalgia di tempat itu dapat menghantarkan syukur atas kemerdekaan yang sudah didapat dan dapat dijadikan pembelajaran soal kesetiaan menjaga peninggalan masa lalu.

Namun, beberapa tahun silam di dalam restoran tua yang tersohor tersebut, saya dan beberapa rekan mengalami pengalaman tidak menyenangkan.

Di dalam tempat yang berdiri sejak 1930-an itu, kami serasa dihantarkan kembali ke masa penjajahan.

Bukan lagi oleh orang Belanda memang, kami justru dijajah bangsa sendiri.

Tempat tersebut ramai, dipadati wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.

Setelah lama pesanan tak kunjung datang, mulailah kami memerhatikan bahwa warga negara asing diperlakukan lebih istimewa.

Mereka dilayani dengan lebih ramah dan pesanan mereka didahulukan.

Para pelayan yang dari kalangan pribumi tampak semringah berinteraksi dengan orang asing.

Dengan bangga, mereka menunjukkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris.

Sementara itu, kami yang berbicara dalam bahasa Indonesia hanya diperhatikan sepintas lalu.

Barulah ketika kami gunakan bahasa Inggris, permintaan kami ditanggapi lebih serius.

Ini bukan hanya perkara minimnya profesionalisme dalam melayani pelanggan, melainkan juga fenomena yang sama hampir merata terjadi di berbagai wilayah lain di Indonesia.

Setelah masa xenofobia berlalu, yakni ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, kita memasuki masa baru, yaitu terjadi penghargaan berlebihan terhadap orang asing.

Warga asing lebih diistimewakan, sementara pribumi dipandang rendah.

Di Bali, ada banyak tempat hiburan yang memprioritaskan orang asing untuk masuk.

Kalau orang Indonesia datang tanpa bule, ia akan jauh lebih susah untuk masuk atau bahkan tidak boleh masuk sama sekali.

Di pesisir barat Lampung yang terkenal sebagai surga peselancar, banyak penginapan yang memasang plang besar menyatakan hanya menerima pelanggan dari warga negara asing.

Menariknya, rasa gerah atas diskriminasi tersebut tidak hanya melanda orang Indonesia, tetapi juga di antara warga negara lain yang menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak asasi dan selayaknya diperlakukan sama.

Salah satunya Christophe Dorigne Thomson yang ayahnya berasal dari Prancis, sementara ibunya dari Inggris.

Pria yang bertahun-tahun belakangan banyak menghabiskan waktunya di Jakarta, Bandung, dan Singapura sebagai pengusaha di bidang kreatif, media, dan international business & consulting itu awal Juli ini telah meluncurkan buku terbaru yang menyentil persoalan tersebut.

Dalam buku berjudul WNI Dilarang Baca!, Chris menuangkan berbagai pandangannya soal Indonesia, baik dan buruknya.

Sisa Penjajahan
"Jelas Indonesia masih menderita dari sisa-sisa penjajahan. Kompleks inferioritas masih ada, bikin kurang percaya diri dan berpikir yang dari luar negeri lebih layak, lebih bagus, dan lebih keren," simpulnya.

Di satu sisi, hal tersebut menampakkan kerendahan hati orang Indonesia.

Namun, itu menjadi kelemahan karena itu pada dasarnya menjadi musuh demokrasi dan kemajuan.

Ketika ada bule yang melintas, biasanya mereka tak pernah bebas dari lirikan mata penduduk setempat.

Kehadiran mereka, meski sama-sama manusia, dipandang lebih istimewa.

Orang-orang berebut menyapa dalam bahasa Inggris, bahkan meminta foto bareng seolah semua orang bule serupa selebritas.

Dengan bermodalkan fisik sebagai bule dan kerelaan berlaku konyol, seseorang yang bukan 'siapa-siapa' dari negaranya bisa tiba-tiba masuk program televisi di Indonesia dan dianggap artis.

Ada juga anggapan bahwa bule yang datang ke Indonesia pasti kaya dan orang hebat semua.

Karena itu, meski dibalut dengan celana pendek dan sandal jepit, mereka bisa dilayani di toko laksana raja.

Lain halnya kalau orang Indonesia yang tampil demikian, mereka bisa dipandangi dari ujung kepala sampai kaki karena dicurigai hendak mencuri.

Itu baru contoh paling sederhana.

Padahal, dampak pemikiran diskriminatif seperti itu sangat luas.

Chris menilai pemikiran itu juga berimbas pada kecenderungan Indonesia dalam mengimpor hampir semua bahan kendati sumber daya alam berlimpah.

Film asing lebih sering diputar di bioskop daripada film lokal karena yang dari luar dianggap lebih keren dan superior.

Ditulis dengan gaya jenaka, Chris mengkritik hal itu dan berupaya menyadarkan bahwa semua manusia itu sama.

Dari kalangan bule sekali pun, tidak semuanya orang baik dan berkualitas.

"Enggak penting kalau bule atau enggak, semua manusia sama kan?" tulisnya.

Saat membuka lembaran buku yang ditulis Chris, sangat sulit untuk tidak ikut tersenyum dan tertawa dibuatnya.

Apalagi, kemampuannya berbahasa Indonesia dengan baik menjadi nilai plus tersendiri.

Agak menggelitik saat membaca tulisan orang asing yang sangat memahami lelucon yang sangat lokal, khas Indonesia.

Dengan lancar dia bisa membubuhi ungkapan-ungkapan seperti 'bingits', 'lo, gue, end', atau 'kasih tahu gak ya?'.

Meski begitu, ada kalanya dia serius menyatakan pendapat dan usulannya untuk menjadikan negeri ini lebih baik.

Chris menyadari bahwa di seluruh dunia pasti ada diskriminasi.

Namun, dia merasa heran, diskriminasi bisa terjadi terhadap WNI di negerinya sendiri dan praktik-praktik seperti itu diterima saja di Indonesia oleh orang Indonesia.

Nah lo, orang asing saja bisa mencintai dan menghargai Indonesia.

Masa kita tidak merasa ada yang salah dengan apa yang terjadi di sekeliling kita? (/M-2)

---------------------------------

Judul: WNI Dilarang Baca!
Penulis: Christophe Dorigne Thomson
Penerbit: B First (Bentang Pustaka)
Tebal: 262 halaman
Harga: Rp54 ribu



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya