BERDASARKAN studi yang dilakukan oleh Pantau Gambut, sebanyak 16,4 juta hektare area gambut di Indonesia rentan terbakar. Di mana area seluas 3,8 juta hektare masuk dalam kategori kerentanan tinggi dan 12,6 juta hektare tergolong ke dalam kerentanan sedang.
Peneliti dan analis data Pantau Gambut Almi Ramdhani menjelaskan, studi itu menggunakan data set tahun 2015 hingga 2019. Adapun, jika melihat dari proporsi area KHG yang rentan terbakar, Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG rentan terbanyak, di antaranya 97% dari total 1.421 hektare area KHG Sungai Ifuleki Bian dan Sungai Dalik berada pada tingkat kerentanan tinggi.
Baca juga: Kebijakan Masuk Sekolah Pukul 5 Pagi di NTT Dianggap Diskriminatif
"Sementara jika merujuk pada sisi luasan area, Pantau Gambut menemukan wilayah dengan risiko tinggi terluas berada pada Provinsi Kalimantan Tengah dengan total luasan lebih dari 1,13 juta hektare2 yang tersebar pada 13 KHG," kata Almi dalam keterangan resmi, Kamis (2/3).
Ironisnya, lanjut dia, KHG Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau dengan daerah high risk terluas ini berada di dalam lokasi eks proyek pengembangan lahan gambut (PLG) satu juta hektare pada masa Soeharto dan saat ini sebagian eks-PLG menjadi bagian dari proyek Food Estate.
Pantau Gambut juga melakukan analisis titik panas (hotspot) menggunakan tiga citra satelit dengan seluruh tingkat kepercayaan, dan mencatat kemunculan 1.275 hotspot, dengan indikasi karhutla pada total empat minggu, terhitung sejak bulan Januari hingga Februari 2023.
"Yang perlu menjadi perhatian adalah 381 titik panas berada di wilayah high risk dan 520 titik panas pada wilayah medium risk," beber dia.
Almi meyatakan, temuan-temuan di atas mengindikasikan adanya korelasi antara ekosistem gambut, kerentanan karhutla, dan kebakaran berulang.
Lebih lagi, kerentanan tinggi juga ditemukan pada lokasi eks-PLG Kalimantan Tengah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih sejak proyek ini gagal 20 tahunan silam.
Kondisi ini, lanjut dia, seharusnya menjadi upaya untuk mengoreksi kebijakan dan mengevaluasi konsesi, khususnya yang beroperasi di atas lahan gambut.
"Upaya mitigasi karhutla juga tidak sebatas pernyataan yang bersifat seremonial semata, namun harus sistematis dan menyentuh akar persoalan. Sehingga kebijakan tidak lagi terkesan sporadis dan seremonial saja ketika ancaman ada di depan mata," pungkasnya. (OL-6)