Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
Sosoknya menjadi magnet bagi pengajian di Masid Al Fataa, Jakarta. Jejaknya sebagai salah satu pelaku bom Bali membuat kalimat-kalimatnya diikuti takzim. "Saya Ali Imron, memohon maaf bagi semua korban, baik warga Indonesia maupun asing," kata Ali Imron yang tampil dengan janggut.
Pengajian sore itu menjadi bagian dari kegiatan terpidana teroris itu. Ia berkeliling forum dan pengajian untuk mengkoresi kesalahannya. "Walau niatnya jihad, tapi secara fisik salah. Dakwah ini jadi bentuk taubat saya," kata Imron.
Selain Ali Imron, ada pula Jumu Tauani, mantan Komandan Komando Pusat Jihad Maluku. "Ini khawarij, ajaran yang menyimpang karena membunuh yang tak bersalah," kata Umu yang mengaku kini harus berlari kencang untuk mengimbangi penyebaran paham radikal di kalangan akar rumput.
Jihad di Subang
Kisah tentang penebusan masa lalu, juga dilakukan Cipto (bukan nama sebenarnya).
Dia seorang bajing loncat yang panggung permainannya mulai jalan di pantura, Sumatra, bahkan hingga Pekanbaru. Dari aksinya, lelaki beranak dua itu biasa memiliki uang jutaan dalam dompetnya. "Uang Rp5 juta di dompet terasa seperti Rp500 ribu saja," kisahnya sambil tertawa.
Namun, itu dulu. Cipto sekarang hanya menggunakan keahliannya mengemudi untuk mengangkut barang-barang material dan toko sepatu, tempatnya bekerja. Karena kebiasaan, sesekali dia masih menyetir dari Pantura ke Jakarta, tanpa penerangan lampu mobil. Dia menegaskan sudah meninggalkan kehidupan kelam itu. "Jangan sampai anak-anak saya kena imbas perbuatan saya karena saya ‘orang hitam’, padahal anak saya tidak tahu apa-apa," ungkapnya.
Jalan untuk berhenti jadi bajing loncat itu terbuka ketika di akhir 90-an dia mulai berkenalan dengan M Thola Albadar Karim, 45, yang lebih dikenal sebagai Kang Oto. Dia pengasuh Pondok Pesantren Al Karimiyah, di Pungangan, Subang, Jawa Barat. Kang Oto pernah membutuhkan sopir untuk mengantar barang dari Subang ke Pandeglang pada malam hari. Perjalanan yang normalnya memakan waktu 4-6 jam itu ditempuh Cipto dalam waktu 1,5 jam saja.
Berkali-kali diantar ke berbagai daerah oleh Cipto dengan kemampuan menyetir demikian, Kang Oto tak pernah menaruh curiga. Hingga suatu hari datang kabar bahwa sopir andalannya itu ditahan polisi. "Dia pakaiannya rapi dan modis, jadi saya tidak nyangka dia bajing loncat," aku Kang Oto ketika didatangi ke pesantrennya, Jumat (24/6). Setelah belasan tahun beraksi di jalanan, itulah kali pertama dia ditangkap polisi dan Kang Oto menjenguknya.
Karena terenyuh oleh perhatian pemimpin pesantren itu, ketika dibebaskan, Cipto lebih memilih mendatangi Pesantren Al Karimiyah sebelum pulang ke rumah sendiri. Dia pun mulai mengajak teman-temannya yang preman, perampok, pencuri, germo, dukun, dan lainnya. Di antara mereka ada yang pernah dipenjara 17 kali, bahkan dikenal biasa membacok orang.
Setelah intens bertemu dan mengobrol, mereka menamai kegiatannya sebagai ‘STMJ’, bukan susu, telur, madu, dan jahe, melainkan santri tua mempeung jagjag (Sunda: santri tua mumpung bugar). Ketika meletus Bom Bali 2002 silam dan Islam diidentikkan dengan terorisme, mereka berganti nama menjadi Jihad, akronim dari ngaji malam Ahad. Mulanya pengajian itu hanya berbentuk obrolan santai soal masalah hidup sehari-hari. Berlangsungnya bisa sampai dini hari.
Jimat rutin
Selanjutnya, setelah Jihad tiap malam Minggu, mereka juga mengadakan Jimat (ngaji malam Jumat) yang kini anggotanya mencapai 400 orang. Pengajian dilakukan berpindah-pindah, bekerja sama dengan 13 Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di tiap daerah. Sejak dua tahun lalu, mereka bahkan mendirikan Yayasan Jimat yang fokus mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Ketika mereka berkumpul, Anda mungkin takkan pernah mengira bahwa di antara mereka ada mantan preman, jawara, dukun, dan lainnya.
Jimat sendiri terbentuk sejak 2011 silam. Acep Sugita yang dikenal sebagai pendekar setempat ialah salah satu pendiri Jimat. Dia menceritakan Jimat dibentuk setelah terjadi perkelahian antarpreman dari kampung-kampung yang berbeda.
Semenjak Jihad dan Jimat terbentuk, tingkat kriminalitas di kawasan itu lumayan menurun drastis. Hal itu diakui Kepala Unit Pembinaan Masyarakat Kepolisian di Patok Beusi, Rasam Suherman, yang menjabat Pelindung di Yayasan Jimat. Selain diajari ilmu agama, mereka juga diajari pasal-pasal hukum supaya tahu konsekuensi pelanggaran hukum.
Ke depan, Yayasan Jimat berharap mereka juga mampu mengadakan pelatihan kewirausahaan. Dengan cara begitu, diharapkan mereka yang biasa menggantungkan hidup dari uang haram bisa beralih profesi dan menjalani hidup yang baik. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved