ALAT musik sasando berasal dari kabupaten Rote Ndao, Nusa tenggara Timur (NTT). Alat musik ini merupakan hasil Kebudayaan masyarakat lokal yang sudah dikenal hingga mancanegara. Sasando merupakan alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini hampir mirip dengan kecapi dan harpa. Namun, sasando memiliki suara yang khas.
Baca juga: Suplemen Enzim Bantu Penderita Diabetes Bisa Nikmati Hidup
Sementara itu, Sasando juga memiliki sejarah yang khas dan unik karena memiliki nilai-nilai budaya. Beberapa waktu lalu Sasando sempat diklaim bahwa alat musik ini milik negara Sri Lanka, wow, rupanya tidak yah teman teman. Nah, kali ini kita akan membahas tentang Sasando baik sejarahnya, jenis, dan cara memainkan nya. Untuk itu yuk disimak agar tidak salah paham.
1. Sejarah Sasando
Kemunculan alat musik Sasando yang biasa disebut dengan sasandu memiliki kisah yang menarik dan penemuannya merupakan hasil inspirasi interkasi dengan alam.
Dilansir dari Gramedia legenda yang diceritakan orang Rote, terdapat berbagai versi sejarah asal muasal alat musik ini, seperti berikut ini:
Cerita 1
Awal mulanya, konon ketika seorang pemuda bernama Sangguana (1950-an) terdampar di perairan Pulau Ndana dan dibawa oleh penduduk ke hadapan Raja di Istana. Selama tinggal di istana ini, bakat seni Sangguana dengan cepat diketahui banyak orang dan sang putri terpesona dengan kemampuannya tersebut.
Dia meminta Sangguana untuk membuat alat yang belum pernah ada sebelumnya. Suatu malam, Sanguana bermimpi memainkan alat musik dengan bentuk dan suara yang indah. Terinspirasi oleh mimpi ini, Sangguana menciptakan alat musik yang disebut Sandu (artinya “bergetar”).
Sambil memainkannya, sang putri bertanya lagu apa yang sedang dimainkan dan Sangguana menjawab “Sari Sandu”. Dia memberikan instrumen ini kepada sang putri. Sang putri kemudian menamakannya Depo Hitu. Artinya, begitu senarnya dipetik, maka tujuh senarnya bergetar (Yusuf Nggebu dan diterbitkan secara online pada tahun 2002 di Harian Kompas).
Cerita 2
Alat musik Sasando ditemukan oleh dua orang gembala bernama Lumbilang dan Balilang (diriwayatkan oleh Jeremiah Parr). Mereka membawa daun lontar saat makan rerumputan dengan domba, dan memetik daun lontar untuk mendapatkan air saat haus di siang hari. Untuk melipat bagian tengah lembaran kuning muda, maka harus melepas lembaran itu. Jika ingin mengendorkannya, mereka akan kencangkan talinya.
Jika menariknya terlalu keras, maka akan terdengar nada yang berbeda. Namun karena sering putus, jadi keduanya mencukil lidi-lidi itu. Seiring waktu, ditemukan bahwa jika dikaitkan yang ketat menghasilkan nada tinggi dan sebaliknya jika diperpanjang menghasilkan nada rendah (Sasando Rote, 17 Januari 2008).
Cerita 3
Alat musik Sasando ini didirikan oleh dua orang sahabat, yakni seorang penggembala dan peminum tuak bernama Lunggi dan Balok Ama Sina. Ketika mereka sedang membuat haik dari daun lontar, ada beberapa benang atau fisik di antara jari-jari daun lontar yang mengeluarkan suara saat dikencangkan.
Dari pengalaman inilah dua orang sahabat tersebut mulai memetik tulang daun lontar dan menghancurkannya dengan tongkat kayu untuk membuat alat musik petik yang bisa meniru suara dan nada suara gong. Kedengarannya tidak bagus, jadi mereka menggantinya dengan tongkat bambu, mengupasnya dan menutupinya dengan tongkat kayu (Djoni LK Theedens; Sasando dan Orang Rote, Timex, 8 September 2009).
Cerita 4
Samuel Ndung, juga dikenal sebagai Sembe Feok (1897-1990) adalah seorang manahelo (pakar silsilah dan puisi) di Rote Barat mengungkapkan bahwa penemu Sasando adalah seorang pria bernama Pupuk Soroba. Dia melihat seekor laba-laba besar bermain di sarang dan mengeluarkan suara yang indah. Dari situlah dia terinspirasi untuk membuat Alat musik Sasando ini.
Berdasarkan pengalamannya, ia ingin membuat perangkat yang bisa menghasilkan suara yang indah. Untuk mewujudkan ide tersebut, Pupuk Soroba pertama-tama mengambil lidi-lidi yang terbuat dari daun lontar mentah, kemudian mencungkilnya untuk disenda dan memetiknya.
Ide Soroba berkembang, akhirnya potongan bambu itu ditempelkan pada haik dari daun lontar. Dawai atau senar dibuat dari serat kayu beringin dan kulit musang kering sehingga mengeluarkan suara yang lebih keras. (Paul A. Gantung; Sasando, Alat Musik Tradisional Ndao Merah, CV-Verlag. Kairo).
Karena pembuatan Sasando terinspirasi dari pekerjaan laba-laba, ada mitos di tengah masyarakat Rote jika ingin bisa bermain Sasando maka harus menangkap laba-laba dan meremasnya di bagian jari-jari dengan minyak kelapa. Itulah sebabnya instrumen yang sudah di pasang di haik akan beresonansi.
Sehingga instrumen ini beresonansi dan diberi nama Sandu atau Sanu, yang berarti getaran atau meronta. Selain itu, alat ini disebut sasando karena merupakan pengulangan dari sasando atau sanusanu yang artinya bergetar berulang kali. Sasando masuk dalam jenis Sitar Tabung Bambu jika dilihat dalam bidang organologi (ilmu alat musik).
Menurut ahli musik, sitar tabung bambu adalah instrumen asli di Asia Tenggara (Filipina, Indonesia, dll) dan juga ditemukan di Madagaskar sebagai Valiha atau Ali yang dibawa dari Asia Tenggara oleh migrasi penduduk (Stanley Sadiebed. The New Grove Dictionary of Musical Instrument).
Perkembangan alat musik Sasando terus berlanjut dari waktu ke waktu, Hingga mengalami perubahan pada bentuk senar dan peningkatan kualitas suaranya. Fifik telah berpindah dari tulangan daun lontar, kulit bambu menjadi senar kawat, senar tunggal menjadi senar ganda, akustik ke peralatan elektronik, sasando gong menjadi sasando biola.
Perkembangan tersebut adalah bentuk perubahan Sasando sebagai alat musik tradisional yang menggabungkan teknologi modern. Kemampuan dan semangat memodifikasi Sasando mencerminkan kepribadian dan etos kerja orang Rote yang sangat dinamis dalam musik mereka.
Asal alat musik sasando
Dilansir dari wikipedia, Sasando merupakan alat musik tradisional dari kebudayaan Rote. Alat musik Sasando bentuknya sederhana bagian utamanya berbentuk tabung panjang dari bambu, bagian tengah melingkar dari atas ke bawah diberi penyangga (Bahasa Rote: senda) dimana dawai-dawai atau senar yang direntangkan ditabung bambu dari atas ke bawah bertumpu. Penyangga ini memberikan nada yang berbeda-beda pada setiap petikan dawai, lalu tabung sasando diberi sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar(haik). Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando. Bentuk sasando mirip dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
2. Jenis Sasando (gong, biola, dan elektrik)
Instrumen sasando terdiri dari beberapa jenis yang dibedakan berdasarkan jumlah senarnya. Ada jenis engkel yang memiliki 28 senar. Ada pula Sasando dobel yang memiliki 56 senar atau 84 senar. Termasuk Sasando Gong, Haik, dan Sasando Biola. Oleh karena itu, suara instrumen sasando sangat berbeda-beda.
Hampir semua jenis lagu dapat dimainkan pada instrumen Sasando seperti musik tradisional, pop, slow rock bahkan dangdut. Di setiap daerah, instrumen Sasando berbeda dalam gaya, keterampilan pemain, dan kurangnya sistem penilaian, terutama untuk sasando gong.
a. Sasando Gong
Sasando Gong yang terkenal di Pulau Rote memiliki nada pentatonis. Biasanya dimainkan dengan irama gong dan dinyanyikan dengan irama khas pulau Rote. Jenis sasando ini adalah 7 senar atau 7 nada dan kemudian berkembang menjadi 11 senar.
b. Sasando Biola
Sasando Biola lebih berkembang di Kupang. Sasando biola memiliki nada diatonis dan mirip dengan Sasando Gong, tetapi bentuk bambu diameternya lebih besar dari sasando gong dan memiliki lebih banyak senar pada Sasando Biola, sehingga totalnya berjumlah 30 nada, sampai 32 dan 36 string.
Sasando Biola memiliki ruang resonansi yang terbuat dari kayu atau multipleks (kotak). Mengapa disebut Biola Sasando? Hal ini karena senar awalnya terbuat dari kayu karena nada Sasando meniru nada biola, tetapi harus memainkannya dengan dipukul untuk mendapatkan suara yang benar.
Sasando biola kotak ini tidak sepenuhnya berkembang, dan akhirnya Sasando Biola dengan ruang resonator daun lontar, seperti yang sering terlihat dalam 5000 not pada tahun 1992, sehingga menjadi lebih populer.
c. Sasando Elektrik
Seiring berkembangnya era Sasando Listrik, Sasando juga mulai mengikuti era yang hanya menggunakan bahan-bahan tradisional dan kini tersedia dalam bentuk Sasando Listrik atau Electric. Electric Sasando atau Sasando Listrik diciptakan oleh Arnold Edon. Sasando Elektrik ini termasuk dalam jenis sasando biola yang sedang dikembangkan teknologinya.
Sasando tradisional memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan, seperti daun lontar yang rapuh, seringnya muncul jamur di permukaan daun saat musim hujan, dan Sasando yang sangat tenang saat dipetik. Sasando elektrik yang muncul ini tidak menggunakan boks/kotak/peti kayu yang terbuat dari daun kelapa karena tidak memerlukan ruang resonansi
berfungsi sebagai wadah.
3. Cara memainkan alat musik sasando
Bagaimana cara memainkan alat musik Sasando? Dari segi bentuk, sasando sebenarnya masih tergolong dalam harpa dan keluarga kecapi. Hal ini dapat dilihat dari cara musik ini dimainkan. Untuk mendapatkan nada, Grameds perlu memainkan senar Sasandonya. Namun demikian, bermain Sasando sangat rumit.
Instrumen ini tidak memiliki akor, jadi kamu harus tahu nada mana yang harus dimainkan. Grameds harus memainkan senar sasando dengan kedua tangan. Kunci ditentukan oleh tangan kanan, dan bass atau melodi ditentukan oleh tangan kiri. Untuk membuat nada lain, kamu perlu memainkan senar sasando di kedua arah.
Tentu saja, bermain secara profesional membutuhkan waktu yang lama. Gremads perlu banyak latihan dan membiasakan dengan alat musik tradisional ini. Alat musik Sasando sudah jadi kebangaan bangsa Indonesia, sehingga kita perlu melestarikannya, salah satunya dengan belajar cara memainkannya atau mengenal dengan baik tentang musik tradisional tersebut. (OL-6)