Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Cegah Bunuh Diri Pengidap Bipolar

Eni Kartinah
29/6/2016 10:59
Cegah Bunuh Diri Pengidap Bipolar
()

MESKI mengidap gangguan bipolar, Vindy Ariella, 25, dapat menjalani kehidupan yang 'normal'. Kuliah di jurusan kedokteran berhasil ia selesaikan. Ia juga aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Vindy menuturkan, itu semua berkat pengobatan yang dijalaninya dengan teratur, juga dukungan keluarga dan teman-teman sekitar.

Namun, tiga tahun lalu ia pernah mengalami peristiwa kelam. Ketika memasuki fase depresi, ia mencoba bunuh diri. "Waktu itu saya menelan seluruh obat yang diberikan psikiater sekaligus. Ada sekitar 50 butir lebih," tutur Vindy dalam diskusi Gangguan Bippolar Vs Fenomena Bunuh Diri di Kota Besar, di Jakarta, Rabu (22/6).

Setelah menelan obat itu, lanjut Vindy, ia tertidur. Saat itu ia berpikir dirinya sudah meninggal. Namun untungnya, ia kemudian terbangun dengan rasa mual dan pusing hebat. Saat itulah orangtuanya menyadari mereka 'kecolongan', sang putri overdosis obat. Vindy pun segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah menjalani perawatan sekitar dua minggu, kondisinya membaik dan ia pun diperbolehkan pulang.

Percobaan bunuh diri seperti yang dilakukan Vindy memang menjadi salah satu kecenderungan bagi pengidap bipolar. Terutama saat mereka tengah memasuki fase depresi.

"Sebanyak 25%-60% penderita gangguan bipolar pernah melakukan tindakan bunuh diri satu kali dalam kehidupan mereka dan yang meninggal karena bunuh diri ialah 15%-20%. Di Amerika, 193 per 100 ribu penderita bipolar dan gangguan mood lainnya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya," ujar dokter spesialis kesehatan jiwa, Nurmiati Amir, pada kesempatan sama.

Sayangnya, lanjut dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu, di Indonesia kasus bunuh diri belum terdata dengan baik. Salah satu penyebabnya ialah karena pihak asuransi, termasuk BPJS Kesehatan, tidak menanggung biaya pengobatan penyakit yang timbul akibat usaha menyakiti diri sendiri.

"Akhirnya, orang bunuh diri dengan menyayat nadi tangan didata meninggal karena luka sayatan. Orang minum cairan pembersih kamar mandi dicatat meninggal karena kerusakan saluran cerna," ujarnya.

Karena kasus bunuh diri tidak terdata, penyusunan strategi penanggulangannya pun tidak ada. Padahal, pencegahan bunuh diri amat mungkin dilakukan, antara lain dengan memberdayakan puskesmas. Pasalnya, sebuah penelitian menunjukkan 45% yang meninggal karena bunuh diri sudah kontak dengan dokter puskemas sebulan sebelum kematian mereka.

"Mereka ke puskesmas mungkin bukan dengan keluhan depresi, melainkan dengan keluhan sakit perut, pusing, nyeri badan, yang sebenarnya timbul akibat depresi. Jika pengetahuan petugas kesehatan di puskesmas bisa ditingkatkan sehingga lebih aware, bunuh diri pasien-pasien itu bisa dicegah," terang Nurmiati.

Ia menambahkan, biasanya ada tenggat antara berpikir untuk bunuh diri dan melakukan tindakan bunuh diri. "Ada kalanya seseorang telah merencanakan untuk bunuh diri beberapa hari, minggu, bulan, bahkan beberapa tahun sebelum tindakan bunuh diri tersebut dilakukannya. Namun, ada pula yang melakukan bunuh diri secara impulsif tanpa perencanaan sebelumnya.

"Umumnya, percobaan bunuh diri dilakukan pada masa-masa awal terjadinya gangguan bipolar. Karena itulah, deteksi dan penanganan dini menjadi salah satu kunci pencegahan. "Dengan pengobatan yang tepat, gangguan bipolar bisa dikendalikan. Mood lebih stabil, pasien bisa hidup normal dan produktif," kata Nurmiati.

Akan tetapi, upaya deteksi dan pengobatan dini itu juga kerap terhambat oleh stigma masyarakat pada penderita gangguan kesehatan jiwa termasuk gangguan bipolar. Karena stigma itu, pengidap gangguan bipolar enggan memeriksakan diri dan menjalani pengobatan.

"Penting sekali ditekankan akan pentingnya kepatuhan pasien gangguan bipolar terhadap pengobatan. Ketidakpatuhan terhadap terapi dan pengobatan gangguan bipolar merupakan penyebab utama kekambuhan. Oleh karena itu, dukungan keluarga sangat dibutuhkan.

"Keluarga, sambung Nurmiati, diharapkan dapat memberi dorongan dan dukungan kepada pasien gangguan bipolar agar optimistis dalam menjalani kehidupan. "Memperlihatkan kasih sayang, perhatian, kepedulian, penghargaan, empati, serta tidak menstigma dan mendiskriminasi merupakan hal penting yang perlu dilakukan masyarakat terhadap pengidap gangguan bipolar."

Pengobatan
Ketua Seksi Bipolar dan Gangguan Mood Lainnya, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Margarita M Maramis, juga menekankan pentingnya terapi gangguan bipolar sedini mungkin. Terapi dilakukan dengan konsumsi obat-obatan dan terapi psikologis.

Obat-obatan bagi pasien gangguan bipolar bekerja di otak. Fungsinya untuk menstabilkan mood

"Untuk mencegah agar kasusnya tidak menjadi lebih rumit. Penyandang gangguan bipolar yang tidak diobati berpotensi mengalami kondisi campuran perasaan atau siklus pergantian episode perasaan (antara fase depresi dan fase gembira berlebihan/manik) semakin cepat hingga resisten terhadap obat-obatan. Untuk hubungan antarmanusia, bisa terjadi konflik semakin parah, kehilangan pekerjaan, atau kerugian finansial," terang dokter spesialis kesehatan jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur itu. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya