Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Perubahan Mindset, Modal Utama Atasi Masalah Sampah

Eni Kartinah
11/3/2021 11:10
Perubahan Mindset, Modal Utama Atasi Masalah Sampah
Ilustrasi(Dok.FFI)

HAMPIR semua orang merasa tak nyaman onggokan, apalagi timbunan sampah. Namun demikian, belum semua orang tergerak untuk melakukan aksi nyata mengurangi dan mengelola sampah. Hal-hal sederhana seperti, memilah sampah, lebih bijak dalam konsumsi sehingga tidak menyisakan terlalu banyak sampah, memakai peralatan yang bisa dipakai ulang, dan mendaur ulang sampah merupakan langkah-langkah sederhana namun berdampak besar pada penanganan sampah.

“Di sinilah pentingnya perubahan mindset. Perlu disadari bahwa masing-masing dari kita pasti menghasilkan sampah, maka pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab kita bersama,” ujar Direktur Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) KLHK, Jo Kumala Dewi, pada webinar #JagaGiziJagaBumi yang digelar secara virtual oleh Frisian Flag Indonesia untuk memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) belum lama ini. Webinar diikuti perwakilan komunitas dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Baca juga: Tata Kelola Sampah Tanggung Jawab Bersama

Ia mengungkapkan, KLHK menaksir timbunan sampah di Indonesia pada 2020 sebesar 67,8 juta ton. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk. Saat ini, sebagian besar sampah berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), hingga bertumpuk menjadi gunungan sampah.

Jo Kumala menekankan, seketat apa pun peraturan pemerintah, bakal kurang efektif jika masyarakat tidak tergerak untuk berperan aktif meminimalkan dan mengelola sampah dimulai dari diri sendiri. “Produksi sampah tentu tidak bisa dihindari. Namun yang penting adalah, bagaimana menerapkan mindset bahwa sampah yang kita hasilkan harus kita kelola. Pesan ‘jangan buang sampah sembarangan’ itu sudah ketinggalan zaman. Sekarang yang perlu ditanamkan ialah, bagaimana masing-masing dari kita mengurangi produksi sampah dan memilah sampah yang kita hasilkan,” papar Jo Kumala.

Karena itu, ia mengapresiasi langkah Frisian Flag Indonesia (FFI) yang meluncurkan kampanye #JagaGiziJagaBumi dengan menyasar anak-anak muda. Menurutnya, kaum muda merupakan kelompok yang lebih mudah diajak mengubah mindset. Selain itu, mereka adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

Pada kesempatan sama, Corporate Affairs Director PT FFI, Andrew F Saputro, mengungkapkan, sebagai bagian dari FrieslandCampina, FFI mengusung visi global perusahaan, Nourishing a Better Planet, yang bertujuan untuk mewujudkan Indonesia yang Sehat, Sejahtera, dan Selaras. Sebagai bentuk pengejawantahan visi tersebut, FFI menginisiasi kampanye #JagaGiziJagaBumi, yakni ajakan bagi generasi muda untuk memulai ‘perubahan kecil’, guna memberi dampak pada kelestarian bumi sekarang, dan di masa datang.

Andrew menjelaskan, inisiatif FFI dalam melibatkan generasi muda untuk memulai perubahan baik ini bukan tanpa alasan. Data terbaru Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini Indonesia didominasi generasi Z dan milenial. Gen Z mendominasi hingga 27,94% dan milenial sebanyak 25,87%. Artinya, generasi muda memiliki peran krusial dalam membentuk kebiasaan baru dan memberi dampak pada keberlangsungan bumi di masa depan. Di sisi lain, kesadaran akan memulai gaya hidup berkelanjutan yang lebih peduli terhadap lingkungan mulai ditunjukkan kalangan ini. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana generasi ini mulai melakukan berbagai langkah kecil untuk bumi yang lebih baik, mulai dari hal-hal sederhana seperti pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, juga maraknya penggunaan sedotan kertas.

Terkait dengan ‘perubahan kecil’ untuk kelestarian bumi, FFI menerapkannya dengan menghadirkan sedotan kertas yang ramah lingkungan pada produk susu cair siap minum rendah lemak, menggantikan sedotan plastik yang selama ini digunakan. Melalui penggantian sedotan plastik dengan sedotan kertas itu, lanjut Andrew, dalam setahun ini FFI bisa mengurangi 10 ton sampah plastik. Sebagai perbandingan, sampah plastik perlu waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai di alam. Adapun sampah kertas membutuhkan waktu lebih singkat, 2-5 bulan.

“Saat ini, sedotan kertas kami gunakan pada produk Frisian Flag Low Fat 225 ml varian Belgian Chocolate, French Vanilla dan Californian Strawberry, rangkaian produk yang banyak disukai kalangan muda,” terang Andrew.

Untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen, lanjut Andrew, sedotan kertas yang dipakai telah melalui uji pangan, food grade certified, serta bebas gluten alergen. Material yang dipilih menggunakan bahan yang ramah lingkungan, dapat didaur ulang (recylceable) dan telah mendapat sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council). Lebih lanjut, FFI juga memberikan edukasi kepada masyarakat terkait cara baru menikmati susu dengan menggunakan sedotan kertas. FFI memperkenalkan langkah rekomendasi 4S. Pertama, sedotan dikeluarkan, tanpa mencopot plastik pada kemasan. Kedua, susu dihabiskan. Ketiga, sedotan dimasukkan kembali ke kemasan agar tidak tercecer. Terakhir, sampah dibuang di tempatnya.

“Pemakaian sedotan kertas pada produk susu cair siap minum rendah lemak kami menjadi langkah awal perusahaan dalam menghadirkan produk dan kemasan yang lebih ramah lingkungan. Ke depan, inisiatif ini akan terus kami lanjutkan dan kami perkuat, guna mewujudkan komitmen 100% kemasan yang dapat didaur ulang pada 2025 mendatang,”  tegas Andrew. Rencana itu sejalan dengan program pemerintah yang menargetkan pengurangan tumpukan sampah hingga 30% pada 2025.

Jo Kumala menambahkan, meski sedotan plastik terkesan sepele karena bentuknya kecil,  tapi ketika dipakai oleh jutaan orang, sampah kecil itu juga menjadi sumber masalah besar. Mengutip data Divers Clean Action 2018, sekitar 93,2 juta unit sedotan plastik digunakan masyarakat Indonesia per hari. “Kita tentu masih ingat foto penyu di laut yang di hidungnya ada sedotan nyangkut, sebuah foto yang mengisyaratkan bahaya sampah sedotan plastik. Sama seperti sampah plastik lainnya, sedotan plastik tak mudah terurai,” ujarnya.

Pada webinar tersebut, Waste Management Trainer dari Waste4Change, Saka Dwi Hanggara, mengingatkan, HPSN yang diperingati setiap 21 Februari diawali peristiwa kelam lima belas tahun silam, tepatnya 21 Februari 2005. Yakni, longsornya gunungan sampah setinggi 60 meter sepanjang 200 meter di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.

Longsoran itu menimpa dua permukiman sekitar, akibatnya 157 orang tewas. Longsor terjadi karena guyuran hujan deras dan konsentrasi gas metan yang terbentuk dalam tumpukan sampah. “Jangan sampai peritiwa ini terulang. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran dan peran semua pihak untuk bersama-sama mengatasi permasalahan sampah,” seru Saka.

Ia  menyampaikan, langkah utama penanganan sampah menanamkan kesadaran akan pentingnya memilah sampah dan penerapan 3R (reduce, reuse, recycle) pada masyarakat. 3R mencakup upaya mengurangi timbulan/produksi  sampah, menggunakan ulang aneka barang, dan mendaur ulang sampah misalnya dengan membuat kompos. Melalui penerapan 3R, dipastikan hanya ada sedikit sisa sampah yang dibuang ke TPA.

“Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat khususnya generasi muda akan pentingnya memulai perubahan gaya hidup dan pengelolaan sampah menjadi langkah penting yang perlu terus digaungkan. Komunikasi dan sosialiasi menjadi bagian dari solusi. Inisiatif #JagaGiziJagaBumi yang digagas FFI dengan melibatkan generasi muda menjadi aksi yang perlu diamplifikasi dan diwujudkan menjadi praktik nyata, dimulai dari diri sendiri. Sehingga diharapkan ke depan, perubahan kecil ini dapat diresonansi dan memberi dampak yang lebih besar pada lingkungan,” kata Saka. (A-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya