SEJARAH batik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tiga rangkaian dasarnya, yakni motifnya, dilihat dari asal-usul batik itu sendiri, dan menelusur bahasa secara lebih mendalam mengenai istilah batik.
Museum Batik Pekalongan tak lepas dari sejarah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, yang identik dengan kota batik sejak abad XIV-XVI. Sejarah batik juga mengantarkan Pekalongan ditetapkan UNESCO sebagai jaringan kota kreatif pada 1 Desember 2014, bersama dengan Kingdezhen (Tiongkok), Nassau (Bahama), Suzhou (Tiongkok), dan Jacmel (Haiti).
Museum Batik Pekalongan yang terletak di kawasan budaya Jetayu diresmikan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Juli 2006. Gedung yang digunakan merupakan gedung bersejarah peninggalan Belanda yang dulunya merupakan kantor keuangan yang membawahkan tujuh pabrik gula di Karesidenan Pekalongan. Terdapat 1.149 koleksi batik, antara lain wayang beber dari kain batik yang berusia ratusan tahun dan alat tenun tradisional atau dikenal sebagai alat tenun bukan mesin.
Museum Batik Pekalongan menyimpan banyak koleksi batik tua hingga modern, baik itu yang berasal dari Pekalongan sendiri yakni motif jlamprang, daerah pesisiran, batik dari berbagai daerah di Nusantara, maupun batik dari mancanegara. Pada peringatan Hari Batik Oktober tahun lalu, museum juga menambah koleksinya berupa batik motif korona yang bertuliskan ‘Bangkitlah Batik Indonesia’.
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengungkapkan bahwa pengelolaan museum sebagai cagar budaya ke depan harus dilakukan dengan profesional. Hal itu untuk mewujudkan pelestarian budaya yang sesuai dengan perkembangan zaman.
“Langkan ke depan ialah pengembangan tata kelola yang lebih profesional, baik dari segi penyampaian informasi publik mengenai cagar budaya melalui berbagai saluran yang ada maupun pengelolaan di lapangan,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Sabtu (9/1).
Dia menerangkan akan ada sistem manajemen terpadu yang dikembangkan Kemendikbud. “Manajemen terpadu ini nantinya akan jadi pola umum yang bisa digunakan oleh pemerintah daerah, swasta, maupun individu yang menguasai cagar budaya,” jelasnya. (Faustinus Nua/H-3)