Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Temui Presiden, FDIP UI Bahas Revolusi Mental

Astri Novaria
28/3/2016 17:11
Temui Presiden, FDIP UI Bahas Revolusi Mental
(MI/Panca Syurkani)

SEBANYAK 15 doktor ilmu politik Universitas Indonesia bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo di Istana Merdeka, Senin (28/3). Mereka di antaranya adalah Ketua Forum Doktor Ilmu Politik (FDIP) UI Dr Fred Ndolu, Sekretaris Jenderal FDIP UI Dr Connie Rahakundini Bakrie dan Dr Donny Tjahja Rimbawan serta Bendahara FDIP UI Dr Meita Istianda.

Hadir pula sejumlah anggota FDIP UI, antara lain Dr Andi Zastrawati Achmad, Dr Ibnu Kaldun Sudirman, Dr Nurliah Nurdin, Dr Tuswoyo, Dr Sitaresmi S Soekanto, Kolonel Laut Dr Abdul Rivai Ras, Dr A Bakir Ihsan, Dr Osbin Samosir, Dr H Yussuf Solichien, Dr Muslim Mufti dan Dr Thomas Pureklolon.

Salah satu yang dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dengan FDIP UI yang berlangsung secara tertutup tersebut adalah membahas soal revolusi mental. Mereka menyampaikan ada penyimpangan antara visi misi bangsa yang tertuang dalam revolusi mental dengan kondisi di lapangan. Ia menilai visi bangsa yang tercakup dalam lima sila Pancasila dinilai belum direalisasikan secara optimal sehingga memicu munculnya kegaduhan baik di internal kabinet maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

"Soal Revolusi Mental, kami berkesimpulan terjadi semacam penyimpangan atau deviasi," ujar Freddy Ndolu di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (28/3).

Penyimpangan itu, sambung Freddy, terjadi dalam bentuk adanya kisruh yang sempat terjadi di pemerintahan dan parlemen karena tidak adanya kesamaan visi dan misi. Hal itu, menurutnya, berpotensi menjadi persoalan dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Menyikapi persoalan tersebut, Freddy mengatakan Presiden Jokowi menjelaskan pemerintah sedang menyiapkan sebuah model implementasi Revolusi Mental agar terwujud konsistensi visi dan misi bangsa di tengah masyarakat.

"Apakah pemahaman kami ini sama dengan Presiden atau berbeda. Presiden mengatakan model ini tengah digodok oleh pemerintah dan dicari bentuknya yang sesuai. Belum mulai, karena beliau ingin memastikan kita itu mau ke mana, ke selatan ya ke selatan. Utara, ya ke utara. Jangan lagi ada yang ke utara dan ada yang ke selatan. Dari anak kecil sampai nenek-nenek harus punya visi bangsa yang sama di DPR. Parpol juga harus demikian, supaya kita bisa selesaikan persoalan yang ada," tandasnya.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal FDIP UI Connie Rahakundini Bakrie berharap tidak terjadi kegaduhan lagi di internal pemerintahan. Menanggapi soal kegaduhan politik, ia berpendapat hal itu bisa direduksi dengan didirikannya National Security Concern. Sehingga diharapkan sinergitas antara departemen dan kebersamaan visinya bisa jelas dan mengarah.

"Saya ingatkan Presiden soal kegaduhan politik yang sangat membingungkan beliau. Beliau (Jokowi) bilang ke saya, kalau beliau baru 1,5 tahun menjadi Presiden. Maksudnya, ekspektasi kita jangan sangat dahsyat sekali," ujar Connie.

Pertemuan yang berlangsung selama 1,5 jam itu juga membahas masalah pertahanan keamanan di Laut Natuna dan Blok Masela. Connie, yang juga merupakan pakar militer dan pertahanan, meminta Presiden Jokowi bersikap hati-hati, sebab kapal pemerintah Indonesia yang selama ini menindak kapal-kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal merupakan kapal perikanan. Kapal perikanan, sambung Connie, tidak terdaftar sebagai kapal pemerintah dalam International Maritime Organization (IMO).

"Dunia internasional hanya mengenal dua jenis kapal, yaitu government ship dan war ship. Kapal perikanan memang terdaftar di dalam negeri, tetapi tidak di dunia internasional. Harus ada pembenahan siapa bermain di wilayah mana dan di lautan kita sehingga tidak overlapping. Saya kira Presiden mencatatnya," tandasnya.

Menurutnya, hal ini bisa menimbulkan persoalan di kemudian hari kalau diperkarakan ke tingkat internasional.

"Posisi kita sedemikian lemah kalau dibawa ke dunia internasional," imbuhnya.

Menyangkut soal Blok Masela, Connie yang berseberangan dengan keputusan Presiden yang menyatakan Blok Masela dilakukan di darat akhirnya mendapat penjelasan utuh. Ia menyebut Presiden telah bicara langsung dengan rakyat setempat. Ia mengakui adanya perbedaan pandangan Presiden yang langsung turun menyentuh rakyat dengan para ilmuwan. Rakyat menyatakan alasan-alasan kuat sehingga keputusan di darat pun diambil.

"Saya melihat Masela itu harus dilihat dari aspek pertahanan juga. Tapi Presiden menyampaikan bahwa beliau sudah berbicara dengan rakyat langsung. Inilah bedanya, beliau langsung turun ke rakyat menanyakan kenapa mau di darat. Mereka (rakyat) menjawab 'kami bisa suplai pasir, suplai batu bata, dan lain-lain. Dari segi itu, Presiden sangat tepat," papar Connie.

Tapi, Connie tetap mengingatkan membangun multi projects di wilayah yang sangat kecil harus dibarengi dengan pemikiran soal ketahanan pulau tersebut. Pulau Yamdena merupakan pulau yang harus sangat dilindungi. Persoalan adat dan ulayat pun harus pula menjadi pertimbangan. Pembebasan tanah akan menjadi sulit.

Menurut Connie, yang saat ini harus ditekankan adalah memajukan dan membangun strategi pertahanan sehingga Blok Masela menjadi objek vital nasional yang terjaga.

"Presiden mencatat itu sebagai hal yang penting. Yang harus kita tekankan, bagaimana ke depan membangun strategi pertahanan kita supaya Masela menjadi objek vital dan terjaga dengan baik. Jangan sampai kita dirugikan karena masalah tadi," pungkasnya.

Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi didampingi oleh Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya