Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Meskipun Sibuk Tangani Covid-19, HIV/AIDS Jangan Lupa Diatasi

Despian Nurhidayat
25/11/2020 21:04
Meskipun Sibuk Tangani Covid-19, HIV/AIDS Jangan Lupa Diatasi
HIV/AIDS(Ilustrasi)

PERSOALAN HIV/AID belum usai, saat ini ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sedang mengalami masalah dengan adanya pandemi covid-19.

Direktur Eksekutif Indonesia Aids Coalition (IAC) Aditya Wardhana berharap, bukan cuma covid-19 saja yang diperhatukan pemangku kekuasaan, beberapa persoalan lain sebaiknya juga menjadi perhatian serius termasuk HIV/AIDS.

"Pertama terkait akses informasi. Beberapa layanan di mana teman-teman ODHA ini biasa mengambil layanan atau ambil obat Antiretroviral (ART) itu saat ini difokuskan untuk covid. Seperti RSUD Pasar Minggu, Jati Panjang, RS Suryani Saroso, RS Persahabatan dan lainnya. Jadi belum ada informasi yang jelas, bagi para pasien ODHA yang biasa ke sana, mereka harus mengambil ART ke mana, karena rumah sakit itu saat ini didedikasikan untuk penanganan covid-19," ungkap dalam acara Menunggu Sunset Media Indonesia, Rabu (25/11).

Selai itu, lanjut Aditya, pasien ODHA juga memiliki kerentanan. Artinya dia tidak bisa dipaksakan untuk bergabung dengan penyakit lain dikarenakan sifatnya yang immunocompromised.

Hal lainnya ialah kekurangan obat ART yang bukan hanya terjadi di Indonesia saja tapi juga di berbagai negara. Apalagi setelah adanya pandemi, distribusi terhadap obat ini menjadi terbatas.

"Karena sekarang obat ini mayoritas minta impor dari India, dan dari sana juga sedang mengalami dampak covid-19 dan pabrik yang produksi ART tutup. Man power juga dirumahkan dan otomatis penerbangan juga terputus. Bahkan sempat terjadi kekosongan, walaupun bisa diatasi tapi menurut saya ini sifatnya masih temporer. Kita belum tahu berapa lama pandemi akan berlangsung. Apakah hanya enam bulan, satu tahun atau lainnya. Artinya kita butuh pendekatan yang lenbih kuat agar ini tidak terjadi lagi," kata Aditya.

Dia pun mengakui dibandingkan 5-10 tahun lalu, situasi penanganan HIV/AIDS di Indonesia sudah lebih baik. Namun menurutnya komitmen ini belum cukup kuat untuk diimplikasikan.

2016 indonesia berkomitmen dengan negara lain di PBB untuk 2020 akan mencapai target 90% yang terinfeksi HIV/AIDS mengetahui statusnya, dari hal tersebut akan dirujuk untuk mendapatkan pengobatan sebesar ART 90% dan setelah mendapat ART, diharapkan terapinya berhasil sehingga 90% tingkat virusnya bisa ditekan bahkan sampai tak terdeteksi lagi.

"Sayangnya angkanya masih jauh sekali, contoh penemuan kasus dari target 545 ribu, yang baru kita temukan itu sekitar 350 ribu. ODHA yang mengonsumsi ART baru 25%, padahal target 2020 harusnya 90% dan yang mampu menghilangkan virusnya di bawah 5%. Ini belum cukup untuk kendalikan epidemi HIV/AIDS," ujarnya.

Aditya pun berharap, persoalan HIV/AIDS bukan sekadar hari peringatan saja. Dia menegaskan HIV/AIDS harus menjadi pesan kesehatan yang harus disebarkan sepanjang tahun. Selain itu, keterlibatan terhadap penanganan HIV/AIDS juga bukan tanggung jawab pemerintah dan LSM saja.

"Percayalah, kalau ini belum bisa diatasi secara bersama, dampak penyebaran akan melebar. Semakin cepat kita intervensi dan peduli, semakin cepat kita bersolidaritas, kita bisa menghilangkan HIV /AIDS ini sampai 2030 nanti sesuai komitmen negara kita," tegas Aditya.

Di tempat yang sama, Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Yudo Irawan menambahkan bahwa gejala HIV/AIDS ini bisa dikatakan sangat tidak terlihat. Saat virus memasuki aliran darah dan berkembang biak, itu tidak akan menimbulkan gejala terlebih dahulu.

"Secara perlahan-lahan dia menurunkan sistem imun kita dan menghancurkan sistem imun kita yang tadinya bagus. Gejala ini akan timbul kalau imun kita sudah tidak mampu melawan infeksi lain yang seharusnya orang sehat mampu melawannya," ujar Yudo.

Baca juga : Menyerang Usia Produktif, Reumatik bukan lagi Penyakit Orang Tua

Dia pun menambahkan bahwa gejala bagi ODHA pun tidak bisa dikatakan secara spesifik. Pasalnya, orang yang terinfeksi virus HIV/AIDS memiliki tampilan luar yang sama dengan orang yang tidak terinfeksi.

Sayangnya, stigma terhadap ODHA ini dikatakan sulit diobati. Yudo pun mengayakan bahwa Indonesia butuh reformasi besar-besaran untuk bisa menghilangkan stigma tersebut.

"Jadi masing-masing, mulai keluarga dari orangtua kepada anak mereka itu harus ada edukasi seksual. Jangan ragu untuk menjelaskan kesehatan reproduksi. Peran orangtua, keluarga dan guru untuk memberikan edukasi yang benar. Kunnci masa depan kita ada pada remaja dan anak-anak kita ini," ucapnya.

Yudo pun memberikan beberapa pesan agar dapat menghindari virus HIV/AIDS. Pertama ialah jangan berhubungan seksual sebelum menikah karena dari hal inilah penularkan HIV banyak ditemukan.

Kedua ialah tetap setia dengan pasangan masing-masing. Dia memastikan, jika seseorang tetap setia dengan pasangannya, hampir 0% risiko HIV ini bisa tertular.

"Ketiga memakai kondom dan jadikan itu sebagai alat proteksi diri. Tapi ini nggak 100% melindungi, jadi yan pertama dan kedua juga harus dilakukan. Terakhir jangan gunakan obat-obatan terlarang. Jadi prinsip ini yang paling simpel dan bisa dilakukan oleh semuanya," pungkas Yudo. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik