Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
FENOMENA krisis air bersih masih dengan mudah ditemui di berbagai wilayah Indonesia.
Tidak perlu menelusuri jauh ke daerah terpencil, di ibu kota negara, Jakarta, kesulitan mendapatkan air bersih masih ditemukan.
Kepadatan penduduk dan bangunan membuat angka ketersediaan air bersih menurun meskipun debit air tidak menurun.
Hingga 2015, baru sebesar 60% warga Jakarta yang mendapatkan akses air bersih.
"Ini jadi tantangan paling berat di Jakarta dan mungkin banyak wilayah kota besar lain. Kepadatan penduduk yang semakin tinggi membuat angka kebutuhan air bersih semakin tinggi meskipun debit air dari sumbernya tidak mengalami penurunan," ungkap Manajer Produksi PT PAM Jaya, Mochamad Hatta Sukarno, di Jakarta, Minggu (20/3).
Dijelaskan Hatta, dibutuhkan setidaknya 26.100 liter air per detik untuk memenuhi kebutuhan sekitar 10 juta warga Jakarta.
Namun, saat ini DKI Jakarta masih mengalami kekurangan pasokan air bersih hingga mencapai 9.100 liter per detik.
Kondisi tersebut menjadi semakin buruk akibat adanya beberapa fenomena alam, seperti El Nino yang menyebabkan kekeringan dalam jangka panjang serta menurunnya kualitas air hingga harus melalui proses penjernihan yang lebih panjang.
Sulitnya akses air bersih mengakibatkan harga mahal.
"Sulit, mau tidak mau kita beli per jeriken. Harganya Rp5.000 per jeriken 20 liter. Sehari biasanya beli sampai 10 jeriken," ujar Euis, 31, warga kawasan Rawa Badak, Jakarta Utara, saat ditanya mengenai kondisi air di rumahnya.
Euis mengaku umumnya ia dan warga sekitar tempatnya tinggal menghabiskan biaya sekitar Rp1 juta setiap bulan untuk mendapatkan air bersih hanya untuk memenuhi kebutuhan untuk minum, mandi, dan mencuci.
Kondisi air tanah yang kering dan berkualitas buruk, serta tidak tersedianya layanan perusahaan air minum ke wilayah tempat tinggal mereka yang umumnya ilegal dan kumuh, membuat Euis dan warga lainnya terpaksa harus terus membeli air.
Menurut Direktur Utama PT PAM Jaya Erlan Hidayat, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut.
Menghemat penggunaan air, mengolah air bekas pakai sebelum dibuang, serta mengurangi pencemaran air di lingkungan sekitar.
"Kita masih mengalami defisit air. Akhir musim penghujan nanti, air yang turun akan semakin sedikit. Jadi, mulai berhemat air dan perhatikan tempat penampungan," ujarnya di sela-sela acara Walk for Water: Bersama demi Air di Jakarta, Senin (21/3).
Apalagi, kata dia, Sungai Ciliwung yang notabene merupakan salah satu sumber air baku bagi masyarakat Ibu Kota sudah tercemar dan tidak bisa lagi diandalkan.
Jakarta hanya bisa mengolah air baku sebanyak 3% dari sungai tersebut.
"Hari Air ini bisa kita jadikan momentum untuk mengingatkan masyarakat bahwa air sangat penting dalam kehidupan sehingga perlu bersama-sama melestarikannya," tutur dia. (Pro/Mut/S-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved