RAJA Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, akhir April lalu mendadak mengeluarkan Sabda Raja di Sitihinggil Keraton.
Hal itu menimbulkan polemik di masyarakat dan juga keraton.
Pasalnya, dalam Sabda Raja yang memuat sedikitnya lima poin itu, ada tiga poin krusial yang bisa memicu kekacauan pemahaman dan sejarah yang dipahami masyarakat, yakni soal penggantian penyebutan gelar buwono menjadi bawono.
Kedua, soal penghapusan gelar sebagai pemimpin agama atau khalifatullah.
Ketiga, ihwal perjanjian pendiri Kerajaan Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan.
Menurut dosen politik dan pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias K, sabda itu sebagai langkah Sultan HB X memuluskan putrinya menjadi penerus takhta di Yogyakarta.
Untuk diketahui, sepanjang sejarahnya, Keraton Yogyakarta selalu dipimpin laki-laki.
Selain itu, UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Daerah Keistimewaan Yogyakarta juga mengindikasikan bahwa seorang gubernur adalah laki-laki.
Di Yogyakarta, posisi gubernur otomatis dijabat sultan.
Lazimnya suksesi di keraton, penerus kepemimpinan haruslah anak dari sultan yang berjenis kelamin laki-laki.
Namun, karena Sultan HB X tidak memiliki laki-laki, takhta akan diteruskan kepada adik laki-lakinya.
Menurut Dardias, Sabda Raja yang dikeluarkan Sultan HB X itu berhubungan dengan Sabdatama Kedua yang pernah dikeluarkan Sultan sebelumnya pada Maret lalu.
Menurut Dardias yang pernah melakukan penelitian berjudul Politik para Bangsawan di Indonesia, pesan dalam Sabdatama yang dikeluarkan Sultan HB X membuka kesempatan bagi perempuan menjadi raja Keraton Ngayogyakarta, sedangkan dalam Sabda Raja, Sri Sultan HB X sudah mulai menghilangkan hambatan-hambatan kultural.
"Jadi keduanya (Sabdatama Kedua dan Sabda Raja) berhubungan dengan suksesi," jelasnya.
Dia mencontohkan dalam salah satu isi Sabda Raja yang menghilangkan kata khafilatullah dalam gelar Sultan HB X.
Hal itu, kata Dardias, memberikan jalan bagi perempuan agar bisa meneruskan takhta raja yang selama ini hanya dipersepsikan laki-laki dalam Islam.
Gelar khafilatullah, menurut Dardias, selalu disandang Sultan HB sejak HB I dan belum pernah ada pengurangan selama ini.
Namun, pengurangan atau penambahan gelar tergantung sultan yang berkuasa.
"Tetapi, praktik umum pengurangan gelar belum pernah terjadi," katanya. Enggan komentar Sri Sultan HB X sendiri sampai sekarang belum mau menjelaskan ketika ditanya apakah Sabda Raja terkait suksesi keraton mencari penerus takhta.
"Nanti saja saya jelaskan. Kepada pemerintah saja belum, kok. Nanti kalau sudah bikin surat keputusan, saya jelaskan," kata Sultan.
Sementara itu, beberapa kerabat keraton juga belum mau berkomentar mengenai Sabda Raja yang terkesan sangat mendadak.
Adik Sri Sultan HB X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo enggan berkomentar.
"Apa yang diucapkan beliau (Sri Sultan HB X) sulit dikomentari dan saya belum mau berkomentar. Nanti ada waktunya," katanya.
Prabukusumo Sendiri mengaku tidak hadir ketika Sri Sultan mengeluarkan Sabda Raja.
Dia beralasan ketidakhadirannya bukan karena tidak tahu, melainkan karena acaranya tidak jelas.
Sementara itu, kemarin, adik-adik sultan yakni, GBPH Prabukumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Cakraningrat, dan GBPH Condrodiningrat berziarah ke makam leluhur Kerajaan Mataram Islam di Kompleks Makam Kotagede.
Dengan memakai pakaian peranakan, keempat pangeran tersebut bermaksud menyampaikan permintaan maaf kepada leluhur terkait dikeluarkan Sabda Raja.
"Kita datang ke makam ini untuk minta maaf kepada beliau. Memintakan maaf kepada sinuhun-sinuhun semua," terang Prabukusumo.
Selain ke Kompleks Makam Kotagede, adik-adik Sultan tersebut juga akan berziarah ke makam Ki Ageng Giring di Gunungkidul.
Keperluan berizarah ke Ki Ageng Giring, lanjut dia, juga untuk meminta maaf dari Sultan kepada Ki Ageng Giring.
Pasalnya, salah satu poin dalam Sabda Raja, Sultan mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. (AT/M-6)