Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
Perilaku Petrus Bakus sungguh mengejutkan. Polisi berpangkat brigadir itu membunuh dan memutilasi kedua anak balitanya. Ia melakukan perbuatan sadis itu pada Jumat (26/2), lepas tengah malam, ketika sang istri tengah tidur.
Polisi yang sehari-hari bertugas di Satuan Intelijen dan Keamanan Kepolisian Resort Melawi, Kalimantan Barat, itu diduga mengidap skizofrenia. "Berdasarkan keterangan istri Petrus, dalam sepekan terakhir sebelum peristiwa itu, suaminya sering marah-marah dan mengatakan ada makhluk halus yang mendatangi dan membisiki sesuatu. Diduga, Petrus mengalami skizofrenia," ujar Kapolda Kalbar Brigjen Arief Sulistyanto.
Hingga kini, proses hukum terhadap kasus itu masih berlanjut. Saat diperiksa, Petrus mengaku membunuh kedua buah hatinya itu secara sadar. Petrus pun mengaku tidak menyesal. Menurutnya, ada bisikan yang memerintahkan dirinya melakukan perbuatan tersebut untuk persembahan kepada Tuhan. Ia menuturkan kedua anaknya sudah kembali ke surga dan sudah menyatu dengan dirinya.
Memang, mengaku mendengar bisikan gaib dan meyakini sesuatu yang tidak logis termasuk tanda-tanda gejala penyakit skizofrenia. Gejala-gejala itu bisa membuat penderita skizofrenia berperilaku tidak wajar, termasuk yang membahayakan orang lain.Namun, ditekankan psikiater AA Ayu Agung Kusumawardhani, penderita skizofrenia tidak selalu identik dengan perilaku kekerasan. Secara umum, hanya kurang dari 10% penderita skizofrenia yang melakukan kekerasan. Dari persentase itu pun lebih banyak yang melakukan kekerasan pada diri sendiri.
"Selama ini justru lebih banyak mereka yang mengalami kekerasan, termasuk yang dipasung," ujar psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, Selasa (01/03).
Lebih lanjut ia menjelaskan skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat. Penderita atau biasa disebut orang dengan skizofrenia (ODS) mengalami gangguan pada sistem neurohormon (persarafan dan hormon) di otak. Gangguan itu memunculkan berbagai gejala perubahan perilaku.
Antara lain, ODS memiliki waham (keyakinan yang salah) dan berhalusinasi. Waham yang muncul dapat berupa kecurigaan berlebih, serta meyakini diri sebagai orang hebat atau tokoh besar.
Halusinasi yang muncul bisa meliputi semua pancaindra. Jenisnya antara lain halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. "Yang tersering halusinasi pendengaran. Misalnya, merasa mendengar suara tanpa sumber, mendengar suara mengejek, mengancam, dan memberi instruksi," kata Ayu yang juga Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Selain itu, ada gejala berupa menarik diri dari kegiatan sosial dan kehilangan motivasi.
Bisa normal
Gejala-gejala tersebut bisa mendorong ODS melakukan perbuatan yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Itu terjadi misalnya dalam kasus Petrus yang mengaku mendengar perintah agar 'mengorbankan' anaknya untuk Tuhan hingga dirinya tega membunuh kedua balita itu.
Namun, kefatalan seperti itu bisa dicegah karena ODS bisa diterapi hingga kembali ke kehidupan normal. "Faktanya banyak ODS yang hidup produktif. Kuncinya pengobatan sedini mungkin," kata Ayu.
Sayangnya, hingga saat ini deteksi dini skizofrenia belum bisa dilakukan dengan pasti. Rangkaian tes psikologi seperti yang diterapkan pada murid-murid SMP atau SMA juga belum dapat menunjukkan skizofrenia. Padahal, skizofrenia paling sering muncul di usia remaja hingga dewasa muda. Karena itulah, Ayu menekankan pentingnya masyarakat mengenali gejala. Mereka yang mengalami perubahan perilaku sesuai dengan gejala-gejala skizofrenia dianjurkan segera diperiksa lebih lanjut.
"Keluarga harus segera membawa ke dokter meski yang bersangkutan tidak merasa sakit. ODS yang patuh minum obat dan konsultasi rutin akan teratasi gejalanya sehingga ODS tidak sampai melakukan kekerasan dan berpeluang untuk pulih kembali," tegasnya.
Pemeriksaan dini juga dianjurkan bagi mereka yang memiliki riwayat keluarga penderita skizofrenia. Meski sejauh ini belum ada penelitian yang membuktikan penurunan skizofrenia secara genetik, dipastikan terdapat tanda yang membedakan DNA ODS dengan orang normal. Tanda itu tidak dapat diubah. "Meski demikian, orang dengan DNA bertanda skizofrenia belum tentu mengalami gejala di kehidupannya. Gejala skizofrenia biasanya dimunculkan oleh faktor eksternal. Jadi, kedua faktor, bawaan dan lingkungan, berinteraksi demikian rupa," terang Ayu.
Diungkapkan Ayu, di Indonesia kerap ditemukan penderita skizofrenia terlambat diobati. Pasalnya masih ada masyarakat yang percaya bahwa perilaku ODS yang 'aneh' itu disebabkan guna-guna dan sejenisnya. Akhirnya, alih-alih memeriksakan ODS ke dokter, mereka justru membawa ODS ke dukun atau paranormal.
"Dampaknya ODS baru dibawa ke fasilitas pengobatan dalam kondisi sudah kronis dengan gejala yang parah. Hal ini tentu akan memperkecil kesempatan kesembuhannya," sesal Ayu. (*/H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved