Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Dlugdag, Penanda Puasa yang Ditunggu

Nurul Hidayah/H-2
25/4/2020 05:10
Dlugdag, Penanda Puasa yang Ditunggu
Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, menabuh bedug di Langgar Agung Keraton Kasepuhan, Cirebon, Kamis (23/4)(MI/NURUL HIDAYAH)

GENDANG besar peninggalan Sunan Gunung Jati di depan Langgar Agung Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, itu menjadi saksi perjalanan dari Ramadan ke Ramadan. Selama ratusan tahun lamanya, tabuhan beduk yang diberi nama Samogiri itu menjadi penanda awal Ramadan.

Dengan mengucapkan doa, Kamis (23/4), seusai salat Asar, Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat menabuh kembali beduk peninggalan salah satu Wali Songo di Jawa itu. Setelah Sultan, tabuhan dilanjutkan oleh abdi dalem dan secara bergantian mereka memukul beduk yang terbuat dari kulit kerbau dan kayu jati itu.

Suara tabuhannya berbeda dengan yang biasa diperdengarkan menjelang salat. Irama merdu yang dimulai dari nada rendah hingga nada tinggi mengalun di telinga dan menyusup hingga ke dalam hati. Suara beduk terus dikumandangkan hingga satu jam lamanya. “Alhamdulillah, tradisi dlugdag ini masih bisa dilaksanakan,” ucap Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat.

Dlugdag ialah salah satu tradisi menyambut Ramadan di Keraton Kasepuhan Cirebon yang dilakukan dengan menabuh beduk Samogiri. Beduk Samogiri yang digunakan ialah beduk yang sama yang dipakai Wali Songo untuk menandakan datangnya waktu salat lima waktu dan saat malam takbiran sebagai penanda datangnya Idul Fitri dan Idul Adha.

Budaya menabuh beduk telah ada jauh sebelum Islam datang. Para Wali Songo di pulau Jawa memanfaatkan beduk itu untuk kegiatan-kegiatan Islam. Sultan Sepuh mengatakan tradisi menabuh beduk ini juga sebagai pemberitahuan salat Tarawih berjemaah di hari pertama bulan suci Ramadan.

Namun, di masa pandemi covid-19 ini, kata Arief, salat Tarawih berjemaah itu tidak dilakukan. Agenda lain yang ditiadakan ialah acara buka puasa bersama anak yatim dan abdi dalem, saji maleman bersama ibu-ibu, salat Idul Fitri, dan silaturahim Sultan Sepuh dengan para wargi dan abdi dalem, serta masyarakat luas.

Sebelumnya, selama prosesi menabuh beduk Samogiri, Sultan Sepuh juga telah menerapkan prosedur pencegahan penyebaran covid-19 dengan menjaga jarak, menggunakan masker, dan tidak menggelar salat Asar berjemaah.

Arief menuturkan ada beberapa tradisi Ramadan lain di lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon yang tetap dilaksanakan, seperti tadarus di langgar alit juga tradisi maleman, dengan menerapkan protokol pencegahan penularan covid-19.

Tradisi maleman dilakukan sebelum 10 hari menjelang berakhirnya Ramadan dengan menyalakan delepak lilin dan membakar ukup. “Tetap dilakukan, terutama di malam-malam ganjil,” ungkap Arief.

Namun, untuk pembuatan sajinya, yaitu delepak lilin dan ukup, menurut Arief, hanya dilakukan oleh pihak keluarga saja. Padahal, biasanya ibu-ibu abdi dalem dan wargi Keraton Kasepuhan dilibatkan dalam pembuatan saji maleman tersebut.

“Kita tetap menaati anjuran Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah. Mari kita sama-sama berdoa semoga pandemi ini bisa segera berakhir,” tutup Sultan Sepuh. (Nurul Hidayah/H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik