Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
SEJATINYA, meraih sukses saja dalam hidup tidak lah cukup jika tak bermanfaat bagi orang lain atau lingkungan sekitar. Banyak orang berpikir orang yang kaya, sukses dalam karir pekerjaan, bisnis dan memiliki jabatan tinggi serta relasi luas akan hidup bahagia. Sebab, mereka bisa memenuhi apa yang diinginkan.
Padahal, tidak sedikit dari mereka yang sukses itu mengalami perasaan hampa. Mereka berada dalam satu titik pemikiran sudah mencapai semuanya, tetapi masih ada perasaan atau keinginan yang belum tercapai. Bahkan keinginan itu tidak dapat dipenuhi oleh apa pun.
Di titik itulah, manusia perlu merenung, mengevaluasi kehidupan yang sudah dijalaninya, bahkan harus mengetahui, sebetulnya Tuhan mau kita menjadi apa.
Pertanyaan setelah sukses mau ke mana atau menjadi apa itulah yang dipaparkan dalam seminar From The Pursuit of Success to Significance atau Dari Mengejar Sukses Menjadi Signifikansi, di APL Tower, Central Park, Jakarta Barat, Jumat (6/12).
Seminar yang digelar Yayasan Halftime Indonesia itu menghadirkan pembicara Lee Han Kiat, Halftime Certified Coach dari Halftime Asia. Lee khusus datang dari Singapura untuk memaparkan dan membuka rahasia perjalanan dari mengejar sukses ke signifikansi.
"Seminar ini akan menyingkap bagaimana memfokuskan hidup dari sukses ke signifikansi, supaya sisa kehidupan kita menjadi terbaik, berdampak luas dan bernilai kekal," ujar Ketua Umum Halftime Indonesia Inge Halim.
Pada acara seminar tersebut diluncurkan pula buku Half Time. Paruh Waktu: Dari Sukses ke Signifikansi karya Bob Buford yang diterjemahkan ke dalam bahasa lndonesia. Buku aslinya berjudul Half Time. Moving from Success to Significance.
Baca juga: Rubelon Beri Solusi Pengembangan Diri secara Online
Lebih lanjut, Inge mengatakan buku dan gerakan Halftime membantu mempersiapkan seseorang memasuki babak kedua kehidupan.
"Seperti permainan sepak bola, ada babak pertama, kemudian jeda sebelum masuk ke babak kedua. Di jeda itu lah dibuat strategi untuk bermain lebih baik di babak kedua. Itu lah yang dilakukan almarhum Bob Buford, setelah sukses mengembangkan bisnis TV kabelnya di paruh kehidupan pertamanya, kemudian ia memiliki hasrat untuk memiliki paruh keduanya yang signifikan," tambah Inge.
Sehingga gerakan Halftime membantu mentransformasikan dari sukses ke signifikansi.
Kekuatan diri
Sementara itu, Lee Han Kiat dalam pemaparannya mengajak peserta seminar menyimak dua garis kurva Sigmoid (Sigmoid curve) yang seperti huruf S. Menurutnya, bila karir sedang berada di puncak, kita harus mencari sesuatu dengan persfektif baru.
"Kurva pertama tentang sukses diri sendiri. Saat sampai di puncak kita buat kurva baru. Itu lah signifikansi, di situ bukan untuk diri sendiri saja, melainkan orang lain," jelas Lee.
Waktu jeda seperti di permainan sepak bola, lanjutnya, sangat penting untuk naik ke kurva kedua. Ia pun menunjukkan dua sudut atas S yang mengarah turun.
"Sudut atas kurva pertama turun dulu, yang kedua juga turun dulu. Di sini ada 3 C, yakni core (inti), capacity (kapasitas) dan context (konteks)," ujar mantan Vice President IBM itu.
Menurut lee, pada C pertama itu lah seseorang menemukan siapa dirinya. Pekerjaan yang sudah 30 tahun digeluti dan menjadi identitas harus kita buang.
"Yang perlu kita ketahui adalah apa kekuatan yang Tuhan berikan kepada kita. Ini beda dengan kompetensi. Kekuatan itu apa yg paling suka kita lakukan. Lalu passion kita apa yg benar-benar kita suka lakukan. Kalau kita melakukannya dengan suka, kita akan berenergi dan tidak merasa lelah. Itu tidak mudah. Semua itu harus kita tulis dalam misi saya (mission statement) diri sendiri," jelasnya.
kemudian Lee menjelaskan C kedua, yakni setiap orang harus memiliki kapasitas untuk mencapai yang diinginkannya.
"Tetapi tidak punya waktu. Berarti kita harus bisa menciptakan waktu. Lalu uang, barteran apa yang mau kita lakukan? bukan berapa banyak yang kita punya," ungkpanya.
"Jangan lupa menjalin hubungan erat dengan Sang Pencita. Kalau sudah tahu siapa kita, mulainya sisihkan kapasitas. Kemudian kita harus menetukan organisasi apa yang akan dimasuki. Ada dunia kerja, LSM, atau organisasi keagamaan atau lainnya. Di situ kita juga harus menentukan peran kita mau jadi apa?" imbuhnya.
Menurutnya, jika di babak (paruh) pertama hidup kita menjadi akuntan, di babak kedua tidak harus di bidang yang sama. Di babak kedua itu lah, kita harus memakai kekuatan kita sehingga tidak kelelahan.
Pada seminar yang dihadiri para Helptimers (yang pernah mengikuti pelatihan Halftime) itu, Lee juga berbagi pengalaman menjadi coach di sejumlah negara, seperti Shanghai, Tiongkok, Malaysia, Hong Kong dan Indonesia.
Di akhir acara, tampil David Haripin, pembina Yayasan Halftime Indonesia sekaligus founder dan chairman Advance, yang berbagi pengalaman perjalanan hidupnya dan bisnisnya.
Yayasan Halftime Indonesia didirikan pada November 2015, tujuannya, ungkap Inge, untuk menjangkau lebih luas, memotivasi dan memberdayakan lebih banyak orang memiliki kehidupan yang signifikan, melipatgandakan berbagai karunia Tuhan dan memberkati banyak orang.(OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved