Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
AKSES layanan yang belum merata menjadi permasalahan dalam penanganan penyakit ginjal kronis (PGK). Bahkan, ada pasien yang harus menjalani hemodialisis tidak bisa mendapatkan layanan tersebut.
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), dr Aida Lydia SpPD-KGH, mengatakan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riset Kesehatan Dasar) 2018, sebanyak 3,8 % penduduk Indonesia menderita PGK. Angka itu naik dari semula 1,8% pada Riskesdas 2013.
"Namun, menurut data Pernefri, saat ini di Indonesia hanya terdapat 131 dokter konsultan ginjal hipertensi dengan sebaran tak merata," ujar Lydia pada temu media memperingati Hari Ginjal Sedunia di Jakarta, kemarin.
Permasalahan lain, lanjutnya, di Indonesia baru ada 741 klinik hemodialisis. Sebagian besar ada di Pulau Jawa sehingga pasien di daerah-daerah banyak yang kesulitan mendapatkan layanan itu.
Padahal, hemodialisis dibutuhkan pasien PGK yang telah mencapai tahap gagal ginjal. Mengutip data Indonesia Renal Registry 2017, pasien aktif yang menjalani hemodialisis sebanyak 77.892 orang. Sebagian besar merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Baca Juga : Penyakit Batu Ginjal Banyak Dialami Usia Produktif
"Dampak ekonomi yang harus dikeluarkan negara untuk biaya hemodialisis sangat besar, " imbuh Lydia.
Sejatinya, sambung Lydia, selain hemodialisis ada terapi pengganti ginjal lainnya, yakni peritoneal dialisis. Terapi itu tidak menggunakan mesin khusus seperti hemodialisis.
Dengan didahului pelatihan, prosedurnya bisa dilakukan pasien sendiri, di mana saja asalkan tempatnya bersih. Jadi, pasien tidak harus datang ke klinik maupun rumah sakit.
Terapi peritoneal dialisis, terang Lydia, menggunakan cairan dialisis yang dimasukkan ke rongga perut melalui akses kateter. Cairan itu mengandung zat-zat yang akan menarik zat limbah dalam darah.
"Peritoneal dialisis telah menjadi program nasional dari Kementerian Kesehatan agar semua pasien PGK bisa mendapat pelayanan. Hanya saja, terapi ini belum populer di Indonesia. Masyarakat lebih mengenal hemodialisis," tuturnya.
Berbiaya tinggi
Deputi Direksi Bidang Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief, gagal ginjal menjadi salah satu penyakit yang berbiaya besar. Sejak 2014 hingga 2019, biaya yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan untuk pasien gagal ginjal Rp13,3 triliun, dari total pengeluaran untuk penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi) sebesar Rp73 triliun.
Pada kesempatan sama, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie, mengatakan ada sejumlah faktor risiko PGK, antara lain hipertensi dan diabetes. Ia mengingatkan, pengendalian faktor risiko melalui perubahan perilaku sangat penting.
Perubahan perilaku itu, antara lain rutin menjalani pemeriksaan tekanan darah dan gula darah, rutin beraktivitas fisik, menghindari asupan gula, garam, dan lemak berlebihan, serta hindari kebiasaan merokok. (Ind/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved