Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
SEBANYAK 205 satwa hidup dan 78 bagian tubuh satwa dapat diamankan Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri dari 12 tersangka sepanjang Januari-Februari 2019.Aaksi jual-beli satwa liar yang dilindungi di Indonesia kian marak, yang dipicu lemahnya sanksi.
"Ancaman hukuman belum cukup membuat para pelaku jera," cetus Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris Besar Adi Karya Tobing saat merilis tindak pidana konservasi SDA hayati dan ekosistemnya di beberapa wilayah Indonesia, di Jakarta, kemarin.
Tersangka DR alias AS, misalnya, yang ditangkap karena menjual satu macaca sulawesi atau monyet yaki melalui jeja-ring sosial Facebook. DR terkait dengan jalur penyelundupan satwa liar di sejumlah negara.
Dari DR, polisi menemukan bukti transaksi perdagangan dua kakatua hitam senilai US$1.500 (setara Rp21 juta) ke Bangkok, Thailand, dan juga dua orang utan senilai US$30.000 (Rp424 juta) ke Dhaka, Bangladesh.
Jika mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ancaman hukuman penjara yang dikenakan paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
"Tersangka DR merupakan residivis kasus yang sama dengan vonis 10 bulan penjara. Setelah keluar dari penjara, DR mengulangi lagi kejahatan yang sama, bahkan jaringannya lebih luas," serunya.
Berdasarkan pengembangan dari DR, polisi kemudian menangkap 11 tersangka lain dari sejumlah daerah, antara lain Kudus (Jawa Tengah), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Jambi, dan Halmahera Utara.
Belum diatur
Baca Juga : Revisi UU Hayati Harus Merinci Norma dan Efek Jera
Selain minimnya sanksi, sambung Adi, UU No 5/1990 juga belum mengatur penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi yang dilakukan dengan sistem daring (online) dan memiliki jaringan internasional.
"Kejahatan ini semakin berkembang. Ini yang belum diatur dalam undang-undang itu. Berbeda dengan kejahatan narkoba yang sudah diatur. Maka revisiundang-undang sangat diperlukan," tegasnya.
Ia menyebutkan satwa-satwa yang marak diperjualbelikan antara lain burung cenderawasih raja, kuskus, kakatua jambul kuning, nuri raja ambon, elang ular bido, kepala julang sulawesi, kaka-tua putih, dan kakatua hitam. Para tersangka menjual satwa secara daring dan menggunakan rekening bersama untuk bertransaksi.
"Satwa-satwa liar itu tidak hanya dipasarkan di Indonesia, tapi juga ke luar negeri. Ada beberapa negara yang kami deteksi di Asia dan Eropa," beber Adi.
Kasubdit Direktorat Pencegahan dan Pengamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Taqiuddin mengatakan usulan revisi UU 5/1990 sudah dilakukan sejak lama.
"Sudah kami dorong untuk perubahan UU. Itu juga yang menjadi hambatan kami selama ini sebenarnya," katanya.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Indra Ekspolitasia menyebutkan praktik perburuan dan perdagangan satwa lliar dilin-dungi terus berulang dan merugikan negara hingga Rp100 triliun setiap tahun.
Ia pun berjanji akan me-review lagi batasan efek jera yang dikenakan pada pelaku perdagangan satwa dilindungi dalam revisi UU 5/1990. "Revisi UU bukan setuju atau tidak, tapi lebih pada membuat norma-norma dalam UU itu yang lebih penting." (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved