Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
Intervensi gizi spesifik melalui pemanfaatan sumber pangan lokal menjadi solusi untuk menekan prevalensi angka anak bertumbuh pendek atau gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis (stunting). Salah satu pangan lokal yang potensial untuk itu ialah singkong.
Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Fathoni menjelaskan, singkong sebagai komoditas pangan mudah ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Sifatnya fleksibel karena dapat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Baik itu pada tanah dengan pH asam maupun tanah dengan kadar alkali.
"Ini sangat potensial dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan bernutrisi karena memiliki kandungan betakaroten yang tinggi," ujar Fathoni dalam diskusi Penurunan Prevalensi Stunting dari Pangan Lokal, di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis (28/2).
Sayangnya, kata Fathoni, singkong belum menjadi sumber pangan utama. Selama ini masih ditekankan pada konsumsi dari komoditas padi, jagung, dan kedelai. Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan singkong kurang populer karena minimnya inovasi olahan.
"Karena itu, LIPI mengembangkan singkong sebagai bahan pangan olahan berupa tepung termodifikasi untuk bahan baku pembuatan mi sayur," katanya.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita Indonesia berada di angka 30,8% pada 2018. Status gizi sangat pendek dan pendek ini menimbulkan masalah stunting, yakni masalah gizi kronis dengan indikasi tinggi badan tidak optimal.
Baca juga: Menko PMK: Kandungan Gizi Asupan Anak Harus Diperhatikan
Yuly Astuti, peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menambahkan, intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan dan ditujukan kepada ibu hamil serta anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Namun, menurut dia, intervensi ini hanya berkontribusi sebesar 30% untuk dapat menurunkan stunting.
Sebesar 70% kontribusi lain diperoleh dari intervensi gizi sensitif di luar sektor kesehatan, seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya.
Hal itu diperkuat dengan risetnya di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang terkait erat dengan kasus bayi berat badan lahir rendah (BBLR). "Kota Mataram memiliki kasus stunting 37,8%. Salah satu penyebabnya ditengarai akibat bayi BBLR," ujar Yuly.
Salah satu inovasi daerah yang dapat dijadikan rujukan untuk penanganan kasus BBLR ditemukan di Puskesmas Pejeruk, Mataram, lewat program SIGAP BBLR dan Peduli Ibu Hamil Anemia (PIHA).
Kedondong hutan
Pemanfaatan pangan lokal lain didapat dari kedondong hutan (Spondias pinnata) untuk mencegah kasus diabetes yang angka prevalensinya terus naik dari tahun ke tahun.
"Dari hasil uji, daun kedondong hutan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat serta mengandung sejumlah besar senyawa fenolik untuk menangkal radikal bebas," kata peneliti Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bali, Wawan Sujarwo. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved