Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Perekaman Biometrik Jangan Jadi Syarat Visa

Sri Utami
06/2/2019 08:45
Perekaman Biometrik Jangan Jadi Syarat Visa
(ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang)

PEMERINTAH RI, hingga kemarin, dilaporkan be­­lum menemukan ti­­­­tik kesepakatan dengan pemerintah Arab Saudi terkait dengan perekaman bio­metrik yang menjadi syarat pe­nerbitan visa jemaah haji.

Menteri Agama Lukman Ha­­kim Saifudin menuturkan ada keinginan kuat dari pemerintah Arab Saudi untuk rekam biometrik menjadi syarat proses penerbitan visa.

“Kami butuh dukungan dari DPR agar penerbitan visa tidak perlu dengan rekam bio­met­rik,” ujar Lukman Hakim saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI di Ja­karta, Senin (4/2).

Sebelumnya, panitia kerja da­lam rapat yang sama men­de­sak pemerintah agar penerap­an perekaman biometrik ke­pa­­­da jemaah haji dan Tim Pe­­­­mandu Haji Daerah (TPHD) tidak dikaitkan dengan proses penerbitan visa haji dalam pe­­­­­nyelenggaraan ibadah haji 1440 Hijriah/2019.

Hal ini juga menjadi kesimpulan pada RDP Panitia Kerja Ko­misi VIII DPR tentang BPIH Tahun 1440 Hijriah/2019 dengan Panja BPIH Kementerian Agama, Senin.

Pemerintah Arab Saudi diketahui telah memberlakukan aturan pengambilan data bio­metrik calon jemaah umrah dan haji lewat perusaha­an swas­­­­­ta Visa Facilitation Ser­­vi­­ces (VFS) Tasheel. Dalam atur­­an itu, calon jemaah dikenai biaya Rp117 ribu per orang untuk rekam biometrik di 34 cabang milik VFS Tasheel di Indonesia.

Aturan biometrik diterapkan pada 17 Desember 2018. Padahal, Indonesia telah meminta Arab Saudi untuk menunda­nya. Namun, hingga berita ini diturunkan, dilaporkan belum ada jawaban dari pemerintah Arab Saudi.

Direktur Lalu Lintas Keimi­g­ra­­sian Kementerian Hukum dan HAM, Cucu Koswala, sem­­­pat menegaskan peng­­am­­bilan data biometrik tidak bisa dila­kukan sembarang pi­hak karena rentan disalahgunakan.

“Bagaimana mungkin swasta dari luar bisa mengambil data biometrik warga negara Indo­ne­­sia lalu dikirimkan ke negaranya?” ungkap Cucu saat rapat kerja dengan Komisi I DPR, be­­berapa waktu lalu.

Biaya haji
Dalam RDP juga ditetapkan besaran biaya yang harus dibayarkan jemaah haji tahun ini, yakni Rp35.235.602.

Menurut Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily, bia­­ya operasional ibadah haji 2019 direncanakan senilai Rp69.744.435. “Dari total biaya itu, jemaah hanya membayar rata-rata Rp35.235.602 atau sa­­ma dengan rata-rata BPIH ta­­hun lalu,” ujarnya.

Panja Komisi VIII DPR bersa­ma pemerintah menyepakati asumsi nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang do­­lar Amerika (US$) dan riyal Arab Saudi (SRls) yang digu­na­kan sebagai dasar perhitung­an BPIH.

Besaran mata uang yang menjadi biaya haji ialah US$1 setara Rp14.200 dan SRls1 seta­ra Rp3.786,67.

“Jadi, harga rata-rata biaya penerbangan per jemaah dari embarkasi haji ke Arab Saudi pulang-pergi Rp30.079.285 de­ngan rincian Rp29.555.597 di­bayar jemaah. Sisanya Rp523.688 dibebankan pada dana optimali­sasi (indirect cost),” kata Ace.

Biaya hidup ditetapkan sebesar SRls1.500, atau ekuivalen Rp5.680.005, dibayar jemaah haji dan TPHD dan diserahkan kembali kepada jemaah dan TPHD dalam mata uang riyal.

“Jadi, sama dengan biaya tahun sebelumnya.” Dalam rapat juga disepakati, besaran direct cost 2019 tidak termasuk biaya visa bagi jemaah haji dan TPHD yang sudah pernah berhaji sesuai dengan data pemerintah Arab Saudi sebesar SRls2.000 per orang. (X-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya