Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Tirai Alga Pengenyah Polusi

Big/M-2
02/2/2019 05:40
Tirai Alga Pengenyah Polusi
(DOK. ECOLOGICSTUDIO)

SEBUAH gedung di kompleks Dublin Castle, Dublin, Irlandia, ditutupi tirai unik. Tirai yang menutupi sebagian lantai pertama dan kedua itu berupa lembaran plastik besar dengan tabung yang meliuk-liuk di ­dalamnya. Sebagian tabung itu berwarna hijau, sebagian lagi merah, dan ada pula yang kekuningan.

Bukan sekadar hiasan, tirai tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi polusi di perkotaan. Hal itu karena adanya kandungan bahan berwarna, yang sesungguhnya merupakan alga mikroskopis, dalam tabung ­tersebut. Dengan begitu, tirai menjadi materi ‘hidup’ yang berfungsi menyerap karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2).

Seperti dilansir NBC News, tirai yang dipasang di Dublin Castle itu masih merupakan purwarupa ciptaan Claudia Pasquero dan Marco Poletto dari ­Ecologicstudio, sebuah firma astitek yang berbasis di London, Inggris.

“Mikroalga punya kandungan yang sudah disebutkan banyak ilmuwan, memiliki fungsi untuk menyerap kembali polutan yang dihasilkan di perkotaan,” jelas Pasquero. “Yang kami lakukan ialah mencoba mencari cara bagaimana mengintegrasikan kemampuan itu dengan kondisi lingkungan perkotaan,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, jika ide tirai itu berawal dari lingkungan sekitar kantor mereka yang memiliki kolam dengan banyak alga. Mereka kemudian berdiskusi dengan ahli mikrobiologi untuk mencari bentuk-bentuk pemanfaatan alga tersebut.

Poletto menambahkan, tentu saja, sisi estetika eksterior sangat menjadi perhatian mereka. “Jadi, ini tidak hanya inovasi teknologi, tetapi juga karya desain,” ujarnya.

Pasquero dan Poletto meng­ungkapkan, mereka juga melihat potensi komersial dari produk itu, terutama untuk bangunan besar seperti gudang. Sebabnya, tirai itu dapat mendapah sisi estetika bangunan. Tirai itu direncanakan dijual dengan harga US$350 atau sekitar Rp4,8 juta per meter persegi.

Namun, di mata ahli kimia lingkungan, tirai itu kurang menjanjikan sebagai solusi untuk perbaikan udara. “Saya menghargai adanya arsitek yang punya pemikiran berbeda, tapi pendekatan ini sepertinya hanya lebih berupa gimik ketimbang solusi nyata,” tutur Profesor bidang Kimia Lingkungan dari Universitas Yale, Amerika Serikat (AS), Gaboury Benoit.

Pasalnya, meski tirai itu bisa efektif menyerap CO2, mereka tidak bisa berfungsi layaknya pohon yang berfungsi sebagai naungan. Tirai itu juga tidak bisa meregenerasi diri, tak seperti pohon dengan daun-daunnya. Alhasil, tirai itu harus diperbaiki tiap 2-3 tahun.

Soal kritik ini, Poletto menilai tirai tersebut tetap memiliki keunggulan di daerah dengan cuaca yang kurang kondusif bagi tumbuhnya pohon ataupun di area yang sempit.  

Depresi

Berbagai metode dan teknologi untuk sekuestrasi (penangkapan dan penyimpanan) karbon atmosferis sesungguhnya kian genting diperlukan. Sebabnya, berbagai penelitian menunjukkan laju perubahan iklim makin mengkhawatirkan.

Kenaikan pemanasan global sebesar 2 derajat celsius yang disebabkan manusia selanjutnya akan memicu proses sistem bumi yang disebut ‘timbal balik’. Sistem itu dapat mendorong pemanasan lebih lanjut, bahkan setelah kita berhenti memancarkan gas rumah kaca.

Bukan itu saja, berbagai penelitian kesehatan juga menunjukkan dampak buruk dari tingginya tingkat polutan di udara. Sebuah penelitian dari King’s College London, belum lama ini menyimpulkan bahwa anak yang tinggal di lingkungan berpolusi tinggi akan lebih berpotensi menderita depresi mulai usia 18 tahun.

Analisis pertama dalam penelitian itu menunjukkan orang yang terekspos pada udara berpolusi di usia 12 tahun memiliki potensi 3-4 kali lebih besar untuk menderita depresi di usia 18 tahun.
Perbandingan yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya memperlihatkan jika udara berpolusi lebih berisiko menyebabkan depresi ketimbang kekerasan fisik. Selain itu, polusi udara juga disebutkan menyebabkan penurunan besar terhadap kecerdasan.

Lebih lanjut, peneliti menjelaskan, penemuan mereka menunjukkan hasil signifikan karena 75% masalah kesehatan mental dipengaruhi kondisi pada usia anak-anak dan remaja. Pada tahapan itu, otak memang tengah mengalami perkembangan yang pesat.

“Tingkat polusi udara yang tinggi jelas tidak baik untuk Anda, dan terutama anak-anak Anda, baik untuk kesehatan fisik maupun mental,” tutur ketua tim penelitian dari studi yang sudah diterbitkan di jurnal Psychiatry Research itu dan dilansir The Guardian, Helen Fisher.  
 
Penelitian tersebut juga memberikan pandangan akan hubungan antara polusi udara dan perilaku antisosial. Namun, peneliti menyebutkan diperlukan studi lebih lanjut untuk membuktikan indikasi itu. (Big/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya