Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Satu Buku untuk Semua Pemeluk Agama

Furqon Ulya Himawan
02/2/2019 04:00
Satu Buku untuk Semua Pemeluk Agama
(MI/Caksono)

INDONESIA ialah bangsa yang kaya karena keberagamannya. Ada 1.340 suku bangsa, 742 bahasa, juga beragam agama dan kepercayaan, serta budaya. Plural dan sangat majemuk. Keragaman ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang harus terus dirawat. Caranya ialah dengan mengenal dan memahami, makanya ada peribahasa tak kenal maka tak sayang.

Seorang anak memperkenalkan diri, namanya Viktor. Dikisahkan, dia penduduk Pulau Sumba. Dia mengenalkan agama Marapu, sebuah agama asli penduduk Pulau Suma di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Menurut Viktor, penganut agama Marapu melakukan pemujaan kepada leluhur mereka yang telah meninggal karena mereka percaya bahwa setelah kematian, mereka akan pergi ke tempat yang sangat indah bernama Prai Marapu atau sebentuk surga bagi umat Islam dan Kristen.

Lalu Viktor bertanya, apa saja ajaran pokoknya? Tanpa menunggu jawaban, Viktor langsung menjelaskannya. Agama ini berdasar pada keyakinan arwah-arwah leluhur. Kata Marapu sendiri memiliki arti yang dipertuankan atau yang dimuliakan, dan agama Marapu meyakini, tidak hanya manusia yang memiliki jiwa dan perasaan, tetapi juga semua benda dan tumbuhan di sekitar kita memilikinya, namanya Patau Tana.

Patau Tana ialah salah satu jenis roh jahat yang suka mengganggu manusia. Agar selamat, penganut agama Marapu harus mengikuti ajaran dan aturan yang ada di agama Marapu. Persis dalam Islam, jika penganut agama Islam ingin selamat dari setan, harus bertakwa dan mengikuti aturan Islam.

Apa yang disampaikan Viktor ialah sepenggal kisah agama Marapu di  Sumba. Semua itu ada dalam buku berjudul Meyakini Menghargai. Sebuah buku literasi agama yang diterbitkan Penerbit Expose bekerja sama dengan PPIM UIN Jakarta dan Convey Indonesia.

Buku setebal 128 itu, pada Selasa (15/1) kemarin dibedah di Yogyakarta dengan menghadirkan editor buku Taufiq MR, dan penulis buku Nenden Hendarsih. Menurut Taufiq, buku Meyakini Menghargai sebagai bentuk pera­yaan keberagaman yang ada di Indonesia. “Tujuannya agar saling mengenal, saling menghargai, rukun, dan toleran,” kata Taufiq.

Buku Meyakini Menghargai ialah sebuah ensiklopedia kebera­gaman untuk mengenal lebih dekat ragam agama dan kepercayaan di Indonesia.

Menurut Taufiq, buku Meyakini Menghargai memang didesain khusus untuk kalangan remaja milenial sehingga diperkaya dengan infografik dan gambar. Infografik dalam beberapa penelitian sangat disukai milenial dengan alasan kemudahan untuk dibaca dan dimengerti.

Tujuannya agar remaja milenial tertarik untuk membaca dan bisa mengenali keberagaman Indonesia. “Semoga mampu menjadi penguat keberagaman di tengah menguatnya budaya hoaks dan pemikiran radikal yang antikemajemukan,” katanya.

Cintai perbedaan

Tak hanya Viktor, ada tokoh bernama Monang yang menerangkan tentang agama kepercayaan Parmalim. Ini ialah kepercayaan masyarakat Tanah Batak yang bermukim di daerah Danau Toba dan Pulau Samosir. Tepatnya di Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, seperti di halaman 84-89.

Jumlah penganut ajaran agama ini sangatlah banyak, ada 22.000 jiwa atau sekitar 7.500 kepala keluarga. Mereka tersebar di Provinsi Sumatra Utara dan di Jawa. Keberadaan agama kepercayaan ini jauh sebelum Indonesia merdeka, dan salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia, Raja Si­singamaraja, ialah orang yang dianggap suci. “Raja Sisingamaraja adalah raja bagi bangsa Batak dan dia Rasul dari Mulajadi Nabolon,” kata Monang dalam halaman 85.

Sama seperti agama-agama lain, pemeluk agama Parmalim juga memiliki Hari Raya yang disebut Pahasada (bulan pertama), serta Si Pahalima (bulan kelima). Ketika perayaan, para pemuluk agama Parmalim datang ke kompleks Parmalim di Hutatinggi.

Zahra Aini, pemeluk agama Islam, lantas mengatakan, agama kepercayaan Parmalim dan agama kepercayaan Marapu ialah dua di antara agama kepercayaan yang ada di Indonesia, dan setiap ajaran agama, selalu mengajarkan ke­baik­an kepada pemeluknya.

Seorang pemeluk agama Hindu, Ida Ayu, menyahut, katanya, setiap agama memiliki ajaran yang berbeda tak ada juga yang memiliki kesamaan. Namun, menurutnya, perbedaan bukan berarti harus disamakan dan bukanlah alasan untuk bercerai-berai.

“Oleh sebab itu, keberagaman agama di Indonesia merupakan anugerah terindah dari Tuhan yang harus kita syukuri dan rayakan,” sahut Alung, seorang yang beragama Konghucu.

Mosaik keberagaman

Tak ada teori dalam buku Meyakini Menghargai meski buku itu ialah buku pengenalan tentang agama-agama. Nenden mampu membuat buku itu menjadi ringan dan asyik untuk dibaca. Selain banyak gambar dan foto-foto kegiatan agama dari tiap agama, Nenden menggunakan narator dengan karakter seseorang pemeluk agama.

Misalnya Viktor, dia ialah sosok rekaan yang dibuat Nenden untuk menjelaskan Agama Marapu. “Jadi ada 12 karakter untuk masing-masing agama dan kepercayaan leluhur,” katanya.

Benar, setiap agama ada karakter yang memerankan sebagai remajanya yang sangat dekat dengan kultur dan agamanya masing-masing. Ada Zahra Aini untuk agama Islam, Fransiskus untuk agama Katolik, Ruth untuk agama Kristen, Ida Ayu untuk untuk agama Hindu, Windu untuk agama Buddha, Alung untuk agama Konghucu, Sudin untuk Sunda Wiwitan, Monang untuk agama Parmalim, Eja untuk agama Tolotang, Viktor untuk agama Marapu, Teguh untuk agama Kaharingan, dan Haryo untuk ajaran Kejawen.

Setiap karakter menjelaskan tentang agama dan bagaimana pengamalannya. Dalam menulisnya, Nanden menggunakan teknik bertanya.

Menurutnya, dengan teknik pertanyaan akan merangsang pembaca untuk aktif baik yang sudah mengetahui maupun yang belum sama sekali. “Karena pertanyaan itu mampu meng­aktifkan kecerdasan otak,” katanya.

Menarik memang dan full colour. Namun, buku yang pro­ses­nya hanya memakan waktu 4 bulan ini tidak menyuguhkan semua agama-agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Buku itu hanya menjelaskan sebelum masuknya agama Samawi ke Nusantara, masyarakatnya sudah memeluk agama kepercayaan leluhur yang jumlahnya mencapai 187. “Memang belum bisa merangkum semua, tapi ini adalah usaha untuk mengenalkan keragaman agama dan budaya Nusantara,” kata Nenden.

Buku ini akan dibagikan secara gratis kepada sekolah-sekolah karena tujuannya memang untuk mengenalkan ciri khas keberagaman Nusantara kepada seluruh masyarakat Indonesia. Setelah mengenal, masyarakat bisa saling menghargai dan hidup rukun. Tidak membedakan, tapi justru merawat  keberagaman yang ada karena keberagaman ialah kultur Indonesia.

Narasi kebaikan dan ragam informasi keanekaragaman Indonesia memang harus terus dibuat. Buku Meyakini Keberagaman sangat tepat hadir saat ini di kala banyak sekali konten yang berisi ujaran kebencian dan aksi intoleransi.

Agar mudah tujuan untuk menyebarkan kedamaian dan sikap toleran bisa terwujud di kalangan milenial, buku ini akan dibagikan gratis. Menariknya, buku ini dilengkapi aplikasi virtual reality UID360 yang berisi wisata religi dan bisa diunduh di Google Playstore secara gratis. “Jadi buku benar-benar semakin asyik dinikmati, dan pembaca bisa mengetahui ajaran, konsep ketuhanan, kitab suci, hari raya masing-masing agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia,” tambah kata Taufiq.

Buku ini sebentuk oase bagi semua pemeluk agama karena dalam satu buku terdapat sejumlah ajaran agama. Membacanya dapat menumbuhkan pemahaman dan mengenal antaragama. Setelah mengenal, masyarakat bisa saling menghargai dan hidup rukun. Tidak membedakan, tapi justru merawat keberagaman yang ada karena keberagaman adalah kultur Indonesia. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya