Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
INDONESIA dengan segala keberagaman suku, adat, dan bahasa saat ini tengah mengalami masa kekhawatiran. Kekhawatiran itu akibat perbedaan pandangan yang dikaitkan dengan isu agama.
Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh toleransi yang saling menghargai perbedaan dan keberagaman. Yenni Wahid selaku pendiri Wahid Insitute menjelaskan lebih lanjut mengenai hasil survei mengenai toleransi dan intoleransi di Indonesia.
“Kita melakukan survei berdasarkan level intoleransi dan radikalisme karena ini berbeda. Kalau radikalisme itu adalah tindakan, melakukan perusakan, membuat orang lain jadi terhambat, mendemo, dan lain sebagainya, kerusakan rumah ibadah misalnya. Kalau intoleransi tidak mesti ada tindakan fisik, tetapi dia tidak memberikan hak-hak dasar atau konstitusional kepada orang yang dia tidak sukai,” ungkap Yenni.
Berdasarkan hasil survei itu, di atas 70% orang Indonesia tidak bersedia melakukan tindakan radikal. Hanya 0,4% yang bersedia melakukan tindakan radikal. Angka 0,4% itu bila diproyeksikan ke jumlah penduduk Indonesia, memiliki jumlah yang cukup besar.
Potensi radikalisme ini, kata Yenni, mencemaskan. Pasalnya, ada 7% orang berpotensi radikalisme di Indonesia. Untungnya, dukungan terhadap Pancasila, memiliki persentase yang tinggi dalam survei yang dilakukan Wahid Institute. Total hampir 90% masyarakat Indonesia mendukung Pancasila sehingga tidak akan melakukan tindakan radikal.
Situasi intoleransi saat ini sudah mencapai angka lebih dari 50%. Hal ini menyebabkan ketidakmauan seseorang untuk dekat dengan orang yang berbeda dengannya. Intoleransi pun bisa terjadi bukan hanya pada pemeluk agama yang berbeda, melainkan juga pada orang yang memiliki agama yang sama. Seperti akibat perbedaan paham, seperti mazhab atau sekte.
Lebih lanjut, Yenni menjelaskan perempuan Indonesia juga lebih toleran dan memberikan kebebasan beragama jika dibandingkan dengan laki-laki. Terdapat 80% perempuan tidak bersedia radikal dan bersedia untuk toleran. Yenni pun menambahkan sebenarnya orang yang radikal ada di Indonesia, tetapi jumlahnya minoritas.
Mayoritas masyarakat yang toleran lebih banyak, tetapi hanya diam dan disebut silent majority. Yennie berharap mayoritas yang tadinya diam itu bisa menjadi noisy majority, jangan hanya diam saja.
“Konflik agama selalu dipicu justru bukan konflik agama sendiri. Tapi konflik lainnya seperti ketidakadilan dan isu politik. Ini yang harus kita waspadai. Kita semua harus menuntut agar para politisi kita tidak memainkan isu agama dalam proses mereka dalam mendapatkan kekuasaan. Karena politik ini menjadi salah satu faktor yang sangat mudah untuk memicu masyarakat agar terjadinya konflik. Ketika mereka sudah memainkan isu soal agama, itu sudah sangat berbahaya sekali,” lanjut Yenni.
Yenni juga mengatakan masyarakat Indonesia harus optimistis dan jangan diam terhadap permainan isu agama yang dilakukan beberapa pihak. Yennie juga menekankan jangan pernah memilih politisi yang memainkan isu agama untuk kepentingan mereka semata. (Des/M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved