Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

LIPI: Lahan Gambut Harus Steril dari Aktivitas Perladangan dan Perkebunan

Ilham Wibowo
17/9/2015 00:00
 LIPI: Lahan Gambut Harus Steril dari Aktivitas Perladangan dan Perkebunan
( ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herman Hidayat mengatakan lahan gambut harus dipertahankan mengingat fungsinya untuk konservasi perlindungan keanekaragaman hayati, sumber daya air, pencegah banjir, pencegah intruisi air laut, dan pengendali iklim.

"Jadi lahan gambut harus steril dari semua aktifitas perladangan dan perkebunan," tutur Herman dalam diskusi Publik "Hasil Penelitian Lipi Terkait Kebakaran Hutan: Kebijakan, Dampak, dan Solusi" di Gedung Lipi, Jalan Gatot Subroto Kav 10, Jakarta Selatan, Kamis (17/9).

Pemerintah dinilai harus serius menjaga dan melindungi areal taman nasional dari penjarahan pendatang untuk berkebun dan tanaman argoforestry. Sebab, lanjut Herman, fungsi taman nasional sangat strategis sebagai daerah tangkapan air, sumber air untuk irigasi, penghasil karbon, gudang keaneka ragaman hayati, fauna fan flora, sumber tanaman obat, madu, buah-buahan dan sebagainya.

"Pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan harus merivew ulang dan mencabut perizinan kepada perusahaan swasta untuk oprasional perkebunan kelapa sawit, Hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Pemberian izin ini sebagai penyebab utama kebakaran di lahan gambut," tuturnya.

Herman mengatakan penegakan law enforcement tak boleh diskriminatif kepada semua warga negara. Aparatur Pemerintah yang berada sebagai backing masyarakat yang merambah lahan areal hutan produksi dan konservasi (taman nasional) serta hutan lindung haris ditindak dan dihukum berat, karena mendorong illegal logging, pendudukan lahan dan deforestasi hutan Indonesia.

"Pengusaha yang terlibat dalam kebakaran hutan dan masyarakat awam juga, karena tidak menjaga lahannya, harus diajukan kepada pengadilan dan harus dihukum berat," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Pakar Hukum Lingkungan Laode Muhammad Syarif pernah menyampaikan hal yang sama, ia mengatakan Indonesia harus mampu menegakkan hukum di bidang lingkungan, termasuk pembakaran hutan. Pelanggaran ini bukanlah hal baru dan mesti diakhiri.

"Indonesia wajib menegakkan hukum di bidang pembakaran," tutur Laode dalam diskusi bertema "Penegakan Hukum Lingkungan: Memutus Siklus Kebakaran Hutan dan Lahan" di Bakoel Koffie Cikini, Jalan Cikini Raya No. 25, Jakarta Pusat, Kamis (10/9/2015)

Kebakaran hutan dan lahan bukanlah hal baru. Pakar hukum lingkungan dari Universitas Hasanudin Makasar ini mengatakan sejak 1980-an, rata-rata lahan yang terbakar dua hingga tiga juta hektare.

"Kasus ini hampir selalu terjadi setiap tahun, sampai puncaknya saya ingat tahun 97-98, itu puncaknya. Menurut analisis, data resminya lebih dari 11 juta hektar lahan terbakar," jelasnya.

Kebakaran hutan dan lahan pada 1997-1998 masuk dalam kategori kerusakan lingkungan terbesar di dunia. Beberapa presiden Indonesia pada masanya pernah meminta maaf karena kebakaran hutan dan lahan.

"Yang terjadi waktu itu presiden Soeharto minta maaf kepada negara tetangga, hampir semua negara Asean. Megawati (Soekarnoputri) dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) juga pernah minta maaf, memang tidak 11 juta hektar, sekitar 3 hingga 5 juta hektar," tuturnya.

Laode mengatakan permintaan maaf presiden itu dianggap negara tetangga sebagai penerimaan kesalahan. Penegakan hukum agar kasus ini agar kebakaran hutan tidak terus berulang.

"Permintaan maaf itu dianggap sebagai penerimaan kesalahan. Bukan hanya satu kali, tapi beberapa kali," ucapnya.(Q-1)




Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya