Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Mengukur Stres Dunia Biru

Big/M-3
27/10/2018 04:20
Mengukur Stres Dunia Biru
(AFP/EMILY IRVING-SWIFT)

POTONGAN-POTONGAN koral tergantung di dalam tiga akuarium yang ditata berderet di salah satu Laboratorium Radioekologi yang merupakan bagian dari Laboratorium Lingkungan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Monako. Pada rak pengaman akuarium tertuliskan 'Ocean Acidification' yang diikuti dengan angka berbeda di masing-masing akuarium. Angka itu ialah 7.5; 7.8; dan 8.1.

Keterangan tersebut sudah cukup jelas mengisyaratkan perlakuan yang sedang diujikan, yakni perbedaan derajat keasaman (pH). Lebih jauh lagi, perbedaan pH ujian mencerminkan proyeksi terburuk akibat perubahan iklim.

Seperti telah banyak diungkapkan berbagai badan riset dunia, jika laju emisi terus dalam tingkat business-as-usual, pH laut global dapat turun hingga 7.6. Saat ini pH laut telah turun dari sekitar 8.2 menjadi 8.1.

Dengan kata lain, laut menjadi lebih asam atau dikenal juga dengan fenomena ocean acidification (OA). Pengasaman itu terjadi karena laut menyerap karbon dioksida yang ada di atmosfer (carbon sink). Ketika emisi karbon dioksida yang dihasilkan manusia makin besar, jumlah karbon dioksida di laut pun makin tinggi. Penyerapan tertinggi telah diketahui terjadi di Laut Atlantik Utara, yakni 60% dari total penyerapan karbon dioksida laut dunia.

"Kelihatannya seperti tidak signifikan, tetapi di laut penurunan pH dari 8.2 menjadi 8.1 itu berarti keasaman (aciditas) telah naik 30%. Bisa suatu koral cukup baik mengatasi perubahan itu, tetapi bisa pula koral di ekosistem sebelahnya tidak bisa mengatasi dan mati," tutur Direktur Laboratorium Lingkungan IAEA, David Osborn, Jumat (18/10) saat ditemui di Monako.

David berbicara kepada dua jurnalis dari Indonesia yang mendapat kesempatan dari US Mission to Internasional Organization in Vienna, untuk mengunjungi Lab Lingkungan IAEA. Kunjungan itu dimaksudkan untuk mengetahui berbagai permasalahan kelautan dunia sehingga menjadi bekal menuju Our Ocean Conference 2018 di Bali. Pemerintah Amerika Serikat merupakan inisiator OOC dan juga donor dari Lab Lingkungan IAEA.

Lebih lanjut, Kepala Bagian Lab Radioekologi-Lab Lingkungan IAEA Peter Swarzenski menjelaskan penurunan pH dapat menyebabkan stres pada organisme akuatik. Akibatnya efisiensi penyerapan kalsium dapat berkurang.

"Jadi, kami menggunakan teknologi nuklir untuk mengevaluasi tingkat stres itu. Caranya dengan menggunakan kalsium 45 untuk mengukur tingkat calcification dalam kondisi pH berbeda itu," katanya.

Calcification merupakan akumulasi garam kalsium di jaringan tubuh. Calcification sangat berperan dalam pembentukan tulang atau cangkang pada organisme akuatik. Sebab itu, stres akibat penurunan pH pada akhirnya dapat membuat organisme laut kesulitan membentuk cangkang sehingga kelangsungan hidup mereka terancam.

Lebih Lemah

Terkait dengan percobaan koral dalam tiga pH yang berbeda, hasil belum didapatkan karena percobaan masih berlangsung. Meski begitu, salah seorang peneliti di Lab Radioekologi menjelaskan jika makin jauh dari zona kehidupan yang nyaman, organisme makin mudah terkena dampak buruk. Ia pun mengibaratkan kondisi manusia, saat suhu lingkungannya tiba-tiba menjadi dingin. Akibatnya manusia akan lebih lemah dan mudah terserang.

Meski hasil pada koral percobaan belum didapatkan, Lab Radioekologi telah menemukan hasil dari percobaan lain dengan menggunakan organisme cuttlebone. Organisme yang masuk famili Cephalopoda itu punya struktur tulang yang unik karena ringan dan lentur, tetapi sangat kuat. Keunikan itu pula yang membuat struktur tulangnya digunakan untuk desain sayap pesawat.

Swarzenski menunjukkan foto bahwa saat kondisi pH turun, kerapatan tulang cuttlebone berkurang. "Akibatnya bisa macam-macam. Memengaruhi kemampuannya berenang, kemampuannya menghindari predator."

Marc Metian, peneliti lain di Lab Radioekologi, menjelaskan dampak yang semakin buruk karena pemanasan global juga membuat laut mengalami perubahan suhu. Dengan begitu, organisme laut bukan hanya mendapat satu sumber stres, melainkan multi, yakni gabungan OA, perubahan suhu, dan bahkan deoksigenasi.

Berbagai kondisi itu pula yang diujikan di lab tersebut. Dengan menggunakan air yang dipompa dari kedalaman 40 meter di Laut Monako, peneliti membuat berbagai kondisi yang menyerupai keadaan perairan di berbagai belahan dunia dan juga dengan proyeksi-proyeksi lingkungan terburuk.

"Bukan perairan tropis yang paling terdampak meski memang suhu airnya lebih hangat. Yang paling terdampak justru di perairan dengan perubahan paling besar terjadi dan itu ada di perairan Arktik. Jadi, di sana perubahan-perubahan OA, suhu, dan deoksigenasi lebih besar," ungkapnya.

Bagi Manusia

Meski banyak penelitian kini juga telah menyebutkan laut bukan saja menjadi carbon sink, melainkan juga carbon source, laju pengasaman laut nyatanya telah terjadi. Pengasaman itu pada akhirnya merupakan petaka bagi manusia.

Saat ini valuasi ekonomi terumbu karang dunia diperkirakan mencapai US$ 9,9 triliun yang dihitung dari termasuk dari sektor pangan, pariwisata, hingga manfaatnya sebagai benteng perlindungan daratan dari terjangan ombak dan badai.

Lebih spesifik lagi mengenai terumbu karang coral triangle, yang juga berada di Indonesia, pengaruhnya sangat penting bagi hidup setidaknya 120 juta orang masyarakat pesisir. Sementara itu, valuasi ekonomi industri wisata terkait dengan terumbu karang di Indonesia dan Filipina sedikitnya mencapai US$258 juta.

Sebab itu, pengasaman laut merupakan isu urgen ditangani bersama. Laju emisi yang terus tinggi bukan saja mengancam organisme laut dan negara pesisir, melainkan juga ancaman pangan dunia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik