Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Rencana Aksi Darurat Selamatkan Badak Sumatra

Micom
23/9/2018 07:00
Rencana Aksi Darurat Selamatkan Badak Sumatra
(ANTARA/Muhammad Adimaja)

KONDISI populasi badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) terus menurun selama beberapa dekade hal ini memaksa seluruh pihak terkait mengambil langkah nyata diawali dengan membuat Rencana Aksi Darurat (Emergency Action Plan/EAP).

Bertepatan dengan peringatan Hari Badak Sedunia yang jatuh pada 22 September 2018, Direktur Tropical Forest Conservation Action­-Sumatra (TFCA-Sumatra), Samedi, di Jakarta, Sabtu (22/9), mengatakan, para ilmuwan, pemerintah pusat dan daerah, Unit Pelaksana Teknis (UPT), lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta pemangku kepentingan lain perlu segera melakukan tindakan penyelamatan yang didasarkan pada suatu dokumen legal EAP badak bercula dua.  

Keadaan Dicerorhinus sumatrensis di Indonesia saat ini sangat mirip dengan situasi di Malaysia sekitar 30 tahun yang lalu. Semua pihak
sepakat bahwa badak Sumatera saat ini berada dalam kondisi darurat.

Kini, badak sumatra di Malaysia tinggal dua ekor, itupun berada di luar habitatnya. Para ahli badak tak ingin pengalaman Malaysia terulang di Indonesia, terlebih jumlah  badak di habitat alam kurang dari 100 individu.

Keberadaan satwa langka ini sangat terancam oleh perburuan, penyempitan, dan fragmentasi habitat. Populasi badak terisolasi dan tersebar dalam kantong-kantong dengan jumlah individu yang sangat sedikit.

Hal ini juga berdampak pada menurunnya laju perkembangbiakan badak. Secara biologis badak sumatra mempunyai tingkat reproduksi yang rendah, karena siklus kawinnya (masa subur/estrus) badak betina hanya setiap satu setengah tahun dan masing-masing hanya terjadi selama empat hari.

Belum lagi acanaman patologi reproduksi sebagaimana ditemukan pada badak-badak betina yang berada di dalam Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung, dan Malaysia.   

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dna Kehutanan (KLHK), Indra Eksploitasia, mengatakan, EAP ini sangat penting dengan tujuan jangka pendek yaitu menghasilkan anakan badak sebanyak-banyaknya untuk dapat dikembalikan lagi ke habitat alamnya.

Oleh karena itu, EAP ini harus disinergikan dan dapat diterjemahkan ke dalam penataan ruang daerah serta sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang maupun Menengah pemerintah daerah, ujar Indra.

Pilihan aksi Ada dua pilihan aksi darurat yang didorong oleh EAP. Pertama, jika jumlah individu kurang dari 15 ekor per kantong populasi dan lokasinya  terisolasi, maka diperlukan aksi darurat berupa penyelamatan (rescue) individu untuk dikonsolidasikan ke dalam suaka perlindungan badak sumatra.

Kedua, bagi kantong populasi yang memiliki jumlah badak lebih dari 15 ekor tapi terancam oleh hilangnya habitat dan perburuan, maka dilakukan aksi darurat berupa proteksi intensif. Ukuran 15 individu diperoleh dari kesepakatan para ahli badak dalam berbagai pertemuan nasional maupun internasional.  

Mengenai mekanisme tindakan darurat tersebut, pemerintah daerah dan UPT mendukungan langkah yang akan diambil dalam EAP. Bahkan,
Kepala BKSDA Aceh, Sapto, mengatakan, pihaknya siap bila memang harus membangun suaka badak sumatra di wilayah Aceh untuk menyelamatkan badak-badak yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser.

Jika memang SRS akan dibuat, sebaiknya lokasinya tidak keluar dari daerah asal badak sumatra, tambah Sapto.

Sebelumnya, TFCA-Sumatra telah memberikan pendanaan untuk penyusunan dokumen EAP 2018-2021. Berbagai upaya perlindungan kawasan dan
pengamanan spesies ini juga terus didukung di tiga bentang alam di Sumatra yaitu di Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas yang diketahui merupakan rumah bagi badak sumatra yang tinggal saat ini. (Ant/OL-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya