Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Mentari Pagi di Desa Poncol

*/M-3
07/7/2018 00:15
Mentari Pagi di Desa Poncol
(Dok. Pribadi)

MENJADI guru bukan semata mentransfer ilmu ke murid. Guru juga berperan besar memotivasi muridnya menjadi seseorang yang membuat dunia lebih baik dengan ilmu yang mereka miliki.

Sayangnya, masih banyak kisah muram para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Mereka harus berjuang di tengah kesulitan membuat perubahan di lingkungannya. Salah satunya Cecep Suryana, pendiri Sekolah Desa Mentari Pagi di Desa Ciaruteun Ilir, Kampung Pabuaran/Poncol RT 02 RW 01 Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Tanpa bekal pendidikan formal guru, mantan office boy di sebuah kantor lembaga psikologi di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, bertekad mendirikan sekolah gratis. Bukan tanpa alasan, ia ingin anak-anak tidak mampu di sekitar tempat tinggalnya bisa mendapatkan pendidikan. Meski hanya tamatan SMP, Cecep sangat peduli dengan dunia pendidikan.

"Jarak dari desa ke SMP terdekat kurang lebih 4,5 km dan untuk menempuhnya harus lewat jalan yang rusak parah tidak beraspal. Saat hujan turun, maka jalanan akan berubah menjadi kubangan. Di samping itu, kendaraan untuk mencapai SMP tersebut kurang mendukung. Tidak ada kendaraan umum murah meriah yang menghubungkan antara desa mereka dan SMP terdekat", ujar Cecep.

Selain itu, Cecep memiliki alasan yang lebih penting. Putrinya, Tazkiatul Ramadhani, kini berusia 14 tahun. Selepas putrinya lulus SD empat tahun lalu, Cecep gundah. Pasalnya, ia tidak ingin anaknya putus sekolah seperti anak-anak lain di Kampung Poncol.

"Ada tiga rukun warga (RW) di desa. Satu RW memiliki rata-rata 870 kepala keluarga. Anak usia sekolah di desa bisa mencapai 200 jiwa. Hanya, jauhnya akses pendidikan membuat warga Kampung Poncol yang berusia 18 tahun sudah memutuskan untuk menikah," ungkap Cecep.

Bungsu dari delapan bersaudara ini saat kecil kurang mendapatkan perhatian. Ayahnya bekerja di bengkel motor, ibunya seorang ibu rumah tangga. Ia kerap bergaul dengan anak jalanan dan tidak pulang ke rumah. Ia sering tinggal di los pasar di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, hingga sekolahnya tidak terurus.

Beruntung dikala usianya SMP, ada mahasiswa yang menyelenggarakan SMP Terbuka di kompleks pasar di Pasar Minggu. Cecep sangat terkesan dengan guru yang mengajarinya dan saat itu terbesit dalam hatinya untuk membuat kegiatan serupa kelak saat ia dewasa. Keinginan itu, sempat ia tulis di dinding kamar di rumah kakaknya. Sayang, saat ia akan melamar pekerjaan, tas berisi ijazah SMP itu dirampas orang.

Pendaftaran

Perjuangan Cecep akhirnya dimulai pada 2014 bersama warga dan teman-temannya. Mereka mulai tahap pertama dalam proses mewujudkan mimpinya mendirikan SMP Terbuka Mentari Pagi. Setiap tahun murid yang datang belajar perlahan bertambah.

Kegiatan belajar SMP Terbuka Mentari Pagi ini masih nomaden. Terkadang dilaksanakan di saung di tanah milik mertua kang Cecep, esoknya di teras rumah warga. Namun, bukan penghalang bagi Cecep membangun sekolah di desanya dengan gedung yang layak. Selain itu, tempat yang ia bangun itu akan menjadi pusat pembelajaran di desanya. Setelah berjalan, SMP Terbuka Mentari Pagi memiliki banyak kelas dan materi pembelajaran tak hanya untuk anak SMP, tapi untuk warganya.

Pada 2016, Cecep dengan teman-temannya mulai menggalang dana untuk pendidikan di desanya. Di sana, bersama para volunteer, anak-anak belajar dari Senin-Sabtu. Kesungguhan mereka dalam belajar membuahkan hasil yang manis. Pada 2016 salah satu dari mereka menjadi Juara 4 Cerdas Cermat tingkat Kabupaten Bogor, ada juga yang dengan percaya diri memberikan pidato dalam bahasa Inggris di depan forum guru. "Tak hanya itu, di antara mereka ada pula yang mendapatkan beasiswa dari Jepang dan dijamin kuliah di Jepang jika lulus hingga SMA," ungkap Cecep.

Saat ini, SMP Terbuka sudah meluluskan satu angkatan. Menyisakan 10 siswa yang masih menempuh pendidikan. Cecep berharap tahun ajaran kali ini banyak yang mendaftar sekolah.

Cecep mengaku bahwa sulit untuk mengajak banyak orang untuk belajar. Pasalnya, banyak warga lebih memilih anak-anak mereka membantu bekerja sebagai buruh tani. Bahkan karena masalah ekonomi, sejumlah warga menikahkan anak gadis mereka yang masih di bawah umur dengan pria yang mapan ekonominya. Meski usia keduanya terpaut jauh.

Kondisi itu pun menjadi salah satu alasan Cecep bersikeras mendirikan SMP gratis sehingga anak-anak mendapatkan bekal pendidikan yang lebih baik dan menghindari pernikahan dini.

Tidak hanya jenjang SMP, Cecep yang dibantu banyak relawan guru lokal dalam mengajar juga membuka jenjang SD sehingga orangtua yang mayoritas buruh tani itu bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih baik.

"Orangtua dari anak-anak di sana yang ingin melanjutkan ke SMP adalah buruh tani sehingga cenderung tidak ada cukup biaya untuk mengongkosi anaknya pergi ke sekolah sehingga 80% anak-anak di desanya hanya sekolah sampai jenjang sekolah dasar (SD)," ujar Cecep.

Melihat keadaan tersebut, kang Cecep tidak mau anak-anak di desanya hanya mendapat pendidikan sebatas SD saja. Ia ingin anak-anak desanya dapat meraih pendidikan lebih tinggi.

Kini, SMP Terbuka Mentari Pagi telah memiliki bangunan hasil bantuan dari para donatur. Selain untuk SMP Terbuka, bangunan tersebut juga dipakai untuk kegiatan PAUD, kegiatan kursus warga, dan kegiatan santri tahfiz Alquran. Baik PAUD maupun tahfiz juga dilaksanakan secara gratis. Saat ini kegiatan PAUD diikuti 30 orang siswa, sedangkan tahfiz 40 orang. Cecep berharap suatu saat dapat mengembangkan semua kegiatan untuk memberi bekal pendidikan pada anak-anak serta meningkatkan kesejahteraan warga.

Donasi

Saat membuka SMP Terbuka, Cecep memutuskan berhenti sebagai office boy. Keputusannya sempat ditentang sang istri. Namun, melihat kegigihan Cecep, sang istri akhirnya turut mendukung. Bahkan mertuanya mewakafkan tanahnya untuk dibuat sekolah.

Kendala sepertinya belum mau menjauh dari Cecep. Ia masih kekurangan relawan mengajar. Para relawan yang hadir memang hanya diganti uang transport yang jumlahnya sangat kecil. Uang itu pun di dapatkan dari donatur.

"Saya bercita-cita menyelenggarakan kegiatan eko wisata di desa untuk menunjang pendanaan sekolah dan semua kegiatan yang diselenggarakan," ungkap Cecep. Keinginan itu bukan tanpa alasan, letak desa Cecep yang tidak jauh dari Bogor itu memiliki pemandangan yang indah. Namun, kembali dana menjadi kendala. Di samping akses jalan ke desanya yang harus diperbaiki.

Untuk meningkatkan perekonomian warga, Cecep membuat sejumlah kegiatan, seperti membuat kripik singkong. Usaha yang dimulai pada 2016 itu sempat berjalan baik, tapi terbentur pemasaran. Kini usaha pembuatan keripik ini hanya dilakukan kalau ada pesanan atau pameran.

Ada juga kursus menjahit. Antusiasme warga terbukti tinggi, ada 30 orang yang mendaftar. Sayangnya, cuma ada satu mesin dan seorang relawan saja. Dari kegiatan kursus menjahit ini, Cecep berharap warga mempunyai keterampilan untuk mencari pendapat lain selain sebagai buruh tani.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya