Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
KAMPUNG Cibitung di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, terkena bencana tanah longsor pada 2015. Tak hanya itu, material longsor juga mengenai pipa panas bumi sehingga pecah dan menimbulkan ledakan. Bencana tanah longsor kerap terulang, apalagi saat tiba musim hujan, daerah lereng menjadi salah satu lokasi rentan bencana tersebut.
Menurut Adrin Tohari, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), daerah lereng kerap diterpa hujan deras dan kondisi tanah yang gembur menyebabkan muka air tanah naik. Apalagi, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tanah longsor merupakan bencana yang banyak menimbulkan korban jiwa.
Tercatat pada periode Januari hingga 7 Februari tahun ini, sudah 19 orang meninggal akibat bencana tersebut. Karena itu, LIPI memanfaatkan hasil penelitian the greatest (teknologi gravitasi ekstraksi air tanah untuk kestabilan lereng) untuk mengurangi potensi longsor pada daerah lereng.
Penelitian yang sudah dimulai sejak 2013 itu telah terpasang di Kampung Cibitung, Pengalengan, Kabupaten Bandung, sebanyak 13 unit. Namun, yang beroperasi hanya 10. Itu disebabkan pada tiga sumur lainnya muka air tanah sudah di bawah 7 meter.
"Prinsipnya menurunkan muka air tanah dengan batasan kedalaman hingga minus 10 meter. Kami mengebor sumur di lereng, lalu pasang selang dengan diameter dalam 8 milimeter dan luar 12 milimeter. Selang itu terhubung pada flushing unit di kaki lereng," ujar Adrin saat dihubungi, Kamis (15/2).
Setelah itu, lanjutnya, gelembung udara dibilas, dipisahkan dari air, dan akan terjebak dalam satu bagian di flushing unit sehingga bisa menambah daya dorong bagi air dari dalam sumur keluar dan mengalir ke lereng atau disebut ekstraksi. Ukuran keharusan penurunan muka air tanah pun terlebih dahulu diteliti dengan perbandingan bidang gelincir.
Untuk di Kampung Cibitung, tercatat muka air tanah harus berada pada kedalaman 7 meter, sementara kondisi di lapangan air dapat ditemukan pada kedalaman 3 meter dari permukaan tanah. Kini, air sudah dapat diturunkan hingga kedalaman 6 meter. Tim pun masih terus bekerja untuk menambah unit sumur dengan kemampuan menurunkan muka air tanah. Debit air yang mengalir pun cukup deras, 120 liter per jam untuk satu sumur. Sementara itu, jarak dari satu sumur ke sumur lain dibuat setiap 4 meter.
Belajar dari alam
Air memang menjadi teman, tapi ketika tidak diperlakukan secara baik, ia bisa menjadi musuh. Adrin mengatakan ketika air terisi penuh pada suatu tempat, itu akan memberikan tekanan yang besar. Kekuatan tanah berkurang, terjadi bencana tanah longsor. Sebab itu, masyarakat harus belajar dari alam. Lihat saja indikasi salah satunya muncul retakan yang lama-kelamaan semakin membesar. Lalu muncul mata air yang debitnya besar.
"Daerah rawan gerakan tanah, muka air tanahnya harus dijaga serendah mungkin. Namun, masyarakat tetap bisa, kok, mengambil air dari tanah. Kalau untuk yang di Kampung Cibitung, air dibiarkan mengalir begitu saja karena kandungan belerang tinggi," pungkas Adrin.
Untuk daerah yang memiliki kualitas air tanah baik, air bisa ditampung dan dimanfaatkan masyarakat. Temuan teknologi yang sederhana itu tanpa bantuan sumber energi apa pun. Namun, jika muka air tanah harus diturunkan hingga batasan minus 15 meter, diperlukan alat vakum dengan sumber energi listrik karena gelembung udara yang sangat besar.
Longsor tak hanya perihal muka air tanah yang tinggi, tetapi juga adanya penjenuhan pada pori-pori tanah. Seperti yang terjadi pada longsoran di wilayah Puncak, Bogor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved