Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
PROSES hukum terhadap kasus-kasus kekerasan pada perempuan dinilai belum memihak kaum perempuan. Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, misalnya, sikap aparat penegak hukum belum berperspektif perlindungan terhadap korban.
Hal itu menjadi salah satu catatan yang disorot Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik). “Masih ada aparat penegak hukum yang memperlakukan korban sebagai objek, bukan subjek yang harus dihormati hak-haknya,” ujar perwakilan dari Divisi Pelayanan Hukum LBH Apik, Siti Mazumah, pada diskusi publik Laporan Tahunan 2017 LBH Apik, di Jakarta, kemarin (Rabu, 14/2).
Perempuan korban keke-rasan seksual, lanjutnya, sering kali dibebani dengan keharusan menunjukkan barang bukti dan saksi-saksi. Terkait dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang juga banyak dialami perempuan, LBH Apik mencatat tidak semua korban kekerasan memilih proses hukum karena lamanya proses tersebut serta besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Akibatnya, kata Mazumah, ada korban KDRT yang memilih jalur mediasi atau perceraian. Data LBH Apik 2017 menunjukkan, dari 308 kasus KDRT, hanya 17 yang selesai dengan menempuh jalur hukum.
Dia juga menyebut kebanyakan yang mengadu ke LBH Apik bukan perempuan yang baru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan tersebut sudah dialami bertahun-tahun. “Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak pernah tunggal. Banyak korban juga mengalami bentuk kekerasan lain,” ungkapnya.
Hambatan lain ketika memberikan bantuan hukum pada perempuan, sambung Mazumah, ialah sulitnya melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Khususnya kasus perdata keluarga seperti hak nafkah anak dan hak asuh.
“Untuk mengajukan eksekusi ke peng-adilan harus mengeluarkan biaya tidak sedikit,” imbuh dia.
LBH Apik mencatat ada lima jenis kasus yang paling banyak yang dialami perempuan, yaitu KDRT, pelanggaran terhadap hak-hak dasar seperti sulitnya akses KTP dan JKN, kasus perdata keluarga, kekerasan seksual, dan pidana umum.
Pedoman hakim
Menanggapi pemaparan LBH Apik, hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Sudirman pada kesempatan sama menuturkan, guna memberikan perlindungan hukum kepada perempuan, telah disahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Ber-hadapan dengan Hukum pada 11 Juli 2017.
Dikatakan Sudirman, Perma tersebut mengatur pedoman hakim dalam mengadili perkara, baik pidana maupun perdata, yang melibatkan perempuan. Dengan peraturan itu, pertimbangan-pertimbangan hukum dibuat hakim dengan lebih memperhatikan aspek kesetaraan gender.
Pengacara pro bono LBH Apik Romi Leo Rinaldi mengatakan Perma tersebut merupakan terobosan yang positif karena selama ini belum ada pedoman bagi aparat penegak hukum dalam beracara dan mengadili perkara hukum terhadap perempuan dengan memperhatikan aspek gender.
Dia berharap para aparat penegak hukum mempunyai perspektif gender dalam menangani kasus hukum terhadap perempuan. Senada, Koordinator Divisi Pemantauan Komnas Perempuan Dwi Ayu Kartika mengatakan pentingnya aparat penegak hukum dapat mengefektifkan instrumen hukum yang sudah ada guna memberikan keadilan bagi kaum perempuan. “Kami mendorong perubahan kurikulum pendidikan hukum agar berbasis HAM dan gender,” pungkasnya. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved