Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
BELUM terlalu siang ketika Raden Roro Hendarti, 44, memanasi sepeda motor beroda tiga itu. Perempuan asal Desa Muntang, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng) itu lalu meninggalkan sepeda motornya dan masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama ia membawa setumpuk buku dan menatanya pada rak buku yang telah dipasang di bagian kanan kiri bak sepeda motornya. Bukunya beragam, ada soal pengetahuan, komik, cerita pendek, tokoh, keagamaan, sampai pada menu makanan. Kurang dari 15 menit, Hendarti langsung menaiki sepeda motor yang pada bagian belakangnya merupakan sebuah bak terbuka.
Melewati jalanan desa, dia menuju ke sebuah sekolah yang letaknya hanya sekitar 1 kilometer (km) dari rumahnya yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Muntang. Begitu masuk ke halaman sekolah, para siswa menyerbu ke arah kendaraan itu. Karena kurang rapi, Hendarti meminta kepada para siswa untuk antre satu per satu. Imbauan perempuan yang kini menjadi Kepala Urusan (Kaur) Pelayanan Pemerintah Desa (Pemdes) Muntang tersebut langsung dituruti para siswa.
Limbah pustaka
Mereka antre untuk meminjam buku. Namun, mereka tidak hanya meminjam buku dengan tangan hampa. Sebab, mereka membawa sampah. Karena memang demikian syaratnya. Kalau meminjam buku, harus membawa sampah khususnya yang anorganik. "Itulah mengapa julukannya adalah limbah pustaka, sebab, selain membawa buku keliling kampung, saya juga memunguti sampah-sampah rumah tangga. Mereka yang meminjam buku, saya minta menyetor sampah. Memang tidak harus, karena meski belum membawa sampah, mereka juga boleh meminjam buku," ungkap Hendarti kepada Media Indonesia Selasa (5/12).
Hendarti mengungkapkan saat melayani di MI Muhammadiyah Muntang, misalnya, dari sekitar 60 siswa yang meminjam, masih ada sejumlah murid yang tidak membawa sampah. Ide mengumpulkan sampah untuk dapat meminjam buku dimulai sejak akhir 2016 lalu. Hendarti prihatin, karena perpustakaan desa yang berada di rumahnya peminatnya menurun. "Maka untuk meningkatkan minat baca, saya melayani perpustakaan keliling. Kebetulan saja, sejak tahun 2015 lalu, saya mendapat bantuan kendaraan roda tiga dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Purbalingga. Bantuan diberikan, karena mulai 2014 saya mendirikan bank sampah di rumah. Kendaraan tersebut digunakan untuk berkeliling desa mengumpulkan sampah warga. Dari sinilah muncul ide, kenapa tidak membawa buku berkeliling sambil memungut sampah,"katanya.
Meski dengan rasa degdegan, ia memberanikan diri untuk membawa sejumlah koleksi buku di perpustakaan desa yang berada di rumahnya. "Tujuan pertama saya ialah Posyandu I. Buku-buku yang saya bawa ialah buku untuk para ibu, misalnya soal menu makanan atau mengasuh anak. Ternyata, mereka sangat antusias untuk meminjamnya. Dari pengakuan para ibu, ternyata mereka bukan tidak ingin membaca, melainkan waktu agak sulit untuk pergi ke perpustakaan desa. Karena itulah, pada saat ada perpustakaan keliling, mereka antusias untuk meminjamnya,"kata Hendarti.
Dongkrak literasi
Berkaca dari pengalaman itu, Hendarti memutuskan untuk berkeliling kampung menawarkan buku-buku, baik ke posyandu maupun rumah-rumah warga. Bahkan, kini dia juga menyambangi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Permata Hati dan MI Muhammadiyah. "Sampai sekarang, kalau jumlah pelanggan peminjaman buku telah mencapai 400-500 orang dari 1.800 penduduk di desa ini," kata Hendarti. Jika dipersentase, tingkat literasi warga Desa Muntang sangat tinggi. Sebab, ada 25% lebih penduduk desa setempat yang telah menjadi pelanggan perpustakaan.
Persentasenya cukup tinggi, karena di Indonesia sangat rendah. Hasil riset yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 lalu menyebutkan jika Indonesia menempati ranking 64 dari 65 negara yang disurvei tingkat budaya literasi. Laporan lain dari Unesco 2012 juga menyebutkan indeks minat baca Indonesia baru 0,001 atau dari 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. "Saya ingin warga di sini memiliki minat baca yang tinggi. Dan ternyata, ketika diberi kemudahan dengan perpustakaan keliling, mereka antusias untuk membacanya. Berarti selama ini mereka berminat namun aksesnya terbatas,"kata wanita lulusan Universitas 17 Agustus Semarang itu.
Hendarti sangat getol untuk meningkatkan literasi warga dimulai dari kesukaan dia akan buku. Ia sangat suka membaca buku termasuk anak-anaknya. "Saya masih ingat, waktu tahun 1980-an, ketika ibu saya menjadi Kepala Desa Muntang, ia kerap ke balai desa untuk membaca buku-buku, karena koleksinya bagus. Namun, selang beberapa waktu, ketika saya selesai kuliah tahun 2001 dan sampai ke desa ini lagi, perpustakaan desa sama sekali tidak terurus. Bukunya rusak dan berdebu," ujarnya. Beberapa tahun lamanya, ternyata memang tidak ada yang mengurus, hingga akhirnya Hendarti meminta kepada desa agar bisa memindahkan perpustakaan itu ke rumahnya.
"Kebetulan di rumah, saya juga mendirikan PAUD, sehingga mulai tahun 2007, perpustakaan juga saya pindahkan ke sini. Tahun berganti tahun, meski koleksinya relatif terbatas, mulai ada yang pinjam. Tahun 2011, ada bantuan buku dari perpustakaan daerah sebanyak 60 buah. Meski telah ada yang meminjam, tetapi belum mampu meningkatkan minat baca warga secara signifikan," kata Hendarti.
Hadiah buat pembaca
Ia memutar otak, bagaimana caranya agar perpustakaan dikunjungi dan yang menjadi sasaran ialah anak-anak. Dengan merogoh kocek sendiri, ia memberikan iming-iming pulpen bagi yang datang ke perpustakaan 10 kali, kemudian penggaris jika datang 20 kali.
"Pada awalnya, memang hanya datang saja, belum meminjam buku. Namun, lambat laun, mereka kemudian meminjam buku. Saya sengaja menyediakan hadiah untuk mereka, karena waktu itu pada tahun 2012-2013 ada bantuan 1.000 buku dari perpustakaan nasional. Makanya sayang kalau tidak dibaca. Untuk menarik minat baca, kemudian saya menyediakan hadiah untuk mereka yang datang ke sini," ujarnya.
Kegigihan Hendarti untuk meningkatkan literasi warga dengan cara mendatangkan mereka ke perpustakaan desa mendapat penghargaan dari Pemkab Purbalingga pada 2013. Sebab, dengan caranya itu, jumlah pengunjung perpustakaan desa meningkat tajam. Perpustakaan desa yang bernama Pelita tersebut menjadi wakil untuk maju ke tingkat Provinsi Jateng. "Namun sayang, perpustakaan kami hanya menempati 6 besar dari 35 kabupaten/kota di Jateng. Salah satu evaluasinya ialah karena perpustakaan kami belum memiliki gedung dan masih menumpang di rumah warga," ungkap Hendarti.
Meski belum beruntung berkompetisi di tingkat provinsi, Hendarti tidak pernah patah arang. Ia tetap saja bersemangat untuk terus mendorong peningkatkan literasi warga. Sebab, dengan kian banyak membaca, pengetahuan semakin kaya. Bagi anak-anak, mereka akan bermimpi setinggi-tingginya meski berasal dari desa. "Saya akan terus mendorong agar anak-anak semakin mencintai buku. Karena buku adalah jendela dunia yang membuka asa bagi masa depan mereka." Dengan sistem jemput bola yang dilakukan Hendarti, tidak saja semakin meningkat pelanggan buku-bukunya, tetapi juga sampah yang dikumpulkan kian banyak.
"Setiap keliling, biasanya saya harus menyambangi setidaknya 100 rumah warga di Desa Muntang. Setidaknya setiap bulan ada 1 kuintal sampah anorganik yang terkumpul. Ada botol air minuman bekas, ada bekas gelas plastik air minuman dan mineral, kaca, gelas dan lainnya,"ujar Hendarti. Berbagai macam sampah anorganik itu kemudian dipilihan-pilah dengan melibatkan kelompok bank sampah yang beranggotakan 20 ibu-ibu. "Mereka bertugas melakukan penimbangan dan pemilahan. Setelah dipilah-pilah, ada yang langsung dikumpulkan dan nantinya dijual, tetapi ada pula yang dimanfaatkan untuk membuat kerajinan."
Kerajinan yang dibuat di antaranya ialah bunga hias berbahan bekas botol air mineral yang dipotong-potong serta tas yang terbuat dari anyaman bungkus minuman kopi atau cokelat. Berbagai kerajinan itu dijual dengan harga Rp50 ribu hingga Rp60 ribu. Setiap bulannya, kelompok bank sampah dapat menjual kerajinan dengan omzet sekitar Rp500 ribu hingga Rp1 juta. "Warga yang menyetorkan sampah juga mendapat keuntungan. Sebab, dari sampah yang dikumpulkan, mereka akan mendapat uang. Tetapi uang langsung dimasukkan ke tabungan. Memang belum banyak, paling hanya sekitar Rp50 ribu. Kami bertekad untuk lebih menekuni pengelolaan bank sampah agar nantinya semakin dapat mendatangkan keuntungan bagi anggotanya. Tetapi yang paling utama adalah memedulikan lingkungan sekitar,"tandasnya.
Sejak Oktober lalu, Hendarti mulai melayani peminjaman buku di sekitar GOR Goentoer Darjono di Kota Purbalingga. Ternyata, hingga kini warga cukup antusias. Karena ada kegiatan itu, sampahnya diambil pada sore hari. Bagi Hendarti, cintanya pada buku membuat dirinya menuangkan berbagai upaya kreatif, salah satunya dengan menggabungkan antara peminjaman buku dengan setor sampah. Meski dilakukan sukarela tanpa bayaran, tetapi masih tetap ada suara-suara sumbang yang bermunculan.
Hendarti sering dikatakan legan golek momongan atau mencari-cari pekerjaan. Hendarti ternyata malah mencari 'kesukaran' dengan ide limbah pustaka. Itu adalah pandangan orang, tetapi untuk Hendarti, hal itu merupakan panggilan jiwa. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved