Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
MINGGU (8/10) sore menjadi saat yang tak terlupakan bagi Arya, 55, dan keluarganya. Saat menyetir mobil keluar dari parkiran sebuah mal bersama istri dan kedua anaknya, tiba-tiba lengan kirinya lemas tak bertenaga. Beruntung sang istri, Fitriana, 50, sigap. Dengan bantuan beberapa orang ia memindahkan sang suami ke bangku belakang, mengambil alih kemudi, lalu segera menuju rumah sakit.
"Saya pilih nyetir sendiri karena kalau panggil ambulans takutnya kelamaan," kata Fitriana. Tim dokter segera turun tangan. Diagnosisnya, stroke. "Bersyukur kami tidak terlambat. Saya bisa mendapat penanganan tepat, hasilnya bagus, sekarang tinggal menjalani kontrol dan fisioterapi lanjutan," timpal Arya.
Satu 'keuntungan' dari kejadian tersebut, sambung Arya, ada kelainan dalam dirinya yang selama ini tak terdeteksi akhirnya bisa ketahuan.
"Dari hasil pemeriksaan menyeluruh, dokter menyimpulkan saya kena stroke karena kelainan irama denyut jantung. Memang, selama ini saya merasa jantung saya kadang dug-dug-dug cepat, tapi hanya sesaat dan enggak ngefek apa-apa, jadi saya biarkan. Rupanya yang seperti itu tidak boleh diabaikan," tutur pegawai swasta itu.
Kelainan irama denyut jantung (aritmia) seperti yang dialami Arya memang bisa berujung pada stroke. Dokter pakar aritmia, Prof dr Yoga Yuniadi SpJP(K), menjelaskan, salah satu kelainan irama jantung yang kerap terjadi di masyarakat ialah fibrilasi atrium. “Fibrilasi atrium merupakan kelainan irama jantung berupa detak jantung yang tidak regular, sering dijumpai pada populasi di dunia dan di Indonesia.
Namun, sangat disayangkan pengetahuan dan kepedulian tentang fibrilasi atrium sampai saat ini masih rendah," ujar guru besar ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu pada temu media membahas fibrilasi atrium di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, Oktober lalu.
Fibrilasi atrium, lanjutnya, dapat menyebabkan timbulnya bekuan darah di jantung karena denyut jantung yang tidak teratur membuat sirkulasi darah dalam jantung tidak normal, cenderung berputar-putar sehingga darah lebih mudah menggumpal. "Paling sering, bekuan itu terjadi pada bagian yang disebut kuping jantung."
Bila bekuan itu terbawa aliran darah dan tersangkut menutup pembuluh darah di otak, terjadilah stroke. “Penderita fibrilasi atrium memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk mengalami stroke daripada orang tanpa kelainan itu. Sayangnya, lanjut Yoga, banyak penderita fibrilasi atrium yang baru ketahuan mengidap kelainan tersebut setelah telanjur mengalami stroke. Seperti kasus Arya tersebut. "Sekitar 40% dari penderita fibrilasi atrium mengalami stroke sebagai gejala awal," kata dokter RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita itu.
Stroke pada penderita fibrilasi atrium memiliki ciri khusus, seperti memiliki tingkat keparahan yang tinggi, bersifat lama, dan sering berulang. "Kelumpuhan merupakan bentuk kecacatan yang sering dijumpai pada kasus stroke dengan fibrilasi atrium. Rata-rata, 50% pasien yang terkena stroke ini akan mengalami stroke kembali dalam jangka waktu satu tahun."
Kampanye Menari
Sejatinya, terang Yoga, kefatalan itu bisa dicegah dengan tindakan sederhana, yakni rutin meraba nadi sendiri untuk mendeteksi denyut jantung yang tidak teratur. Untuk itu, beberapa asosiasi di bidang kardiovaskuler menggencarkan kampanye Menari, kependekan dari meraba nadi sendiri. "Harapannya, melalui kampanye ini pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat akan fibrilasi atrium meningkat," imbuh Yoga.
Seseorang yang curiga dirinya mengalami fibrilasi atrium, sebaiknya segera memeriksakan diri. Dokter akan memastikan kecurigaan tersebut melalui serangkaian pemeriksaan. Jika terbukti, terapi akan diberikan. "Mengenai terapi mengatasi fibrilasi atrium, setidaknya terdapat tiga teknik yang dapat dilakukan, yaitu teknik ablasi kateter, melakukan pemasangan alat LAA Closure, serta pemakaian Obat Antikoagulan Oral Baru (OKB). Terapi ini berperan besar dalam menurunkan risiko serangan stroke karena fibrilasi atrium," jelas Yoga.
Di Indonesia, sambung Yoga, sudah ada 26 praktisi yang dapat menggunakan alat ablasi kateter. Walaupun SDM yang mampu menggunakan sudah cukup banyak, sayangnya jumlah dan distribusi alat itu tidak merata. "Permasalahan lainnya, sampai saat ini terapi OKB belum masuk ke dalam layanan BPJS Kesehatan padahal terapi OKB merupakan lompatan besar dalam terapi fibrilasi atrium. Selain lebih efektif, OKB dapat mengatasi risiko perdarahan dan reaksi silang antarobat,” kata Yoga yang berharap kendala-kendala tersebut dapat segera diatasi. (H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved