Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

Perhutanan Sosial tanpa Konflik

Putri Rosmalia Octaviyani
21/10/2017 07:41
Perhutanan Sosial tanpa Konflik
(ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

PERMOHONAN hak uji materiil (judicial review) terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P 39 Tahun 2017 yang diajukan 4 ­orang warga Teluk Jambe, Karawang, dianggap sebagai hal yang tidak perlu. Permohonan itu dinilai akibat kurangnya pemahaman akan program perhutanan sosial.

Kekhawatiran akan timbulnya konflik horizontal di masyarakat dan pengelolaan lahan yang salah diyakini pemerintah tidak akan terjadi.

Permohonan uji materiil juga diajukan Perkumpulan Pensiunan Pegawai Kehutanan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Lembaga Masyarakat Pengelola Sumber Daya Hutan (LMPSDH) Wana Salam, Perkumpulan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) Kosambiwojo Lestari, dan pensiunan Perhutani.

“Jadi kalau dibilang takut ada konflik, sebenarnya itu tidak akan terjadi karena semua dilakukan dengan sangat teliti dan melalui proses verifikasi yang ketat untuk pembagian izin kelola,” ujar Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Hadi Daryanto, dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Hadi mengatakan sistem verifikasi dilakukan dengan menggunakan data lengkap setiap warga dilakukan tim verifikasi yang terdiri atas pemerintah hingga LSM. Pembagian hak kelola juga dilakukan secara merata, maksimal 2 hektare bagi seluruh warga yang telah terverifikasi.

Khawatir dibabat

Selain konflik, kekhawatiran pemohon terdapat dalam hal kelestarian hutan. Dengan pembagian hak kelola, dikhawatirkan akan terjadi pembabatan hutan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat guna oleh masyarakat yang belum tentu memiliki pengetahuan tepat untuk mengelola setiap lahan yang berbeda karakter, baik yang dikelola mandiri oleh warga atau yang dikelola bersama antara warga dengan Perhutani.

“Untuk aturan pemanfaatan lahan, dalam aturan sudah ditegaskan tidak boleh seluruh lahan untuk bertani atau berkebun. Harus 50% ditanami tanaman kayu keras sebagai bentuk konservasi hutan,” ujar Hadi.

Hadi juga mengatakan untuk memastikan tidak akan terjadi kesalahan kelola yang dapat menggagalkan upaya konservasi, sosialisasi dan pelatihan terus dilakukan bagi masyarakat, baik yang sudah menerima hak kelola maupun yang sedang dalam proses.

Pelatihan diberikan dengan materi utama melakukan pengelolaan hutan yang bermanfaat ekonomi dan juga sekaligus mengonservasi.

“Sementara itu, bila sudah berjalan pemantauan di lapangan juga pasti akan terus dilakukan,” ujar Hadi.

Sebelumnya, salah satu pemohon uji materi, Nace Permana, mengatakan Permen LHK No 39 itu akan mengakibatkan para pemegang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dapat dengan seenaknya membabat kayu dalam hutan lindung. Perhutanan sosial juga dianggap rawan praktik bagi-bagi lahan secara tidak tepat dan jujur.

Sementara itu, hingga saat ini, realisasi perhutanan sosial yang telah diserahterimakan soal akses kelola pada masyarakat telah mencapai lebih dari 600 ribu hektare.

Ditargetkan, hingga akhir 2017, setidaknya 1 juta hektare lahan telah direalisasikan dan diberikan pada masyarakat. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya