Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Keislaman dan Nilai Kebangsaan

Dhika Kusuma Winata [email protected]
20/10/2017 03:00
Keislaman dan  Nilai Kebangsaan
(thinkstock)

SUASANA kebatinan bangsa saat ini terseret dalam polarisasi keagamaan yang tajam. Keislaman kerap dipertentangkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Sementara itu, nilai-nilai kebangsaan terkubur dan kalah populer ketimbang sentimen agama. Pandangan itu disampaikan intelekual muslim muda Fajar Riza Ul Haq seusai peluncuran bukunya berjudul Membela Islam, Membela Kemanusian, di Auditorium Center for ­Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu (18/10) malam. Menurut mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute itu, polarisasi identitas yang membelah masyarakat saat ini tengah muncul ke permukaan. Padahal, sambungnya, kehidupan beragama dan bernegara di Tanah Air dalam 10 tahun terakhir relatif sudah mengalami pendewasaan.

Problemnya saat ini, tambah Fajar, ialah sentimen dan emosi agama dikerahkan menjadi sentimen publik. Ia mengatakan pilkada DKI Jakarta yang lalu dengan serentetan Aksi Bela Islam sebagai contohnya. Ia juga menambahkan isu pribumi dan nonpribumi yang belakangan dilontarkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. “Orang mulai dipaksa untuk menonjolkan identitasnya. Apakah etnik, atau itu agama. Kedewasaan masyarakat kita di dalam berdemokrasi sedang diuji. Nah kalau istilah itu (pribumi dan nonpribumi) ditimbulkan kembali dengan sentimen politik dan rasial, itu bisa membelah masyarakat yang sekarang memang sedang terpolarisasi,” jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan sebenarnya nilai-nilai kebangsaan dan kemanusian tidak perlu dipertentangkan dengan nilai keagamaan, baik itu Islam maupun agama lain. Karena, menurutnya, nilai Islam yakni perdamaian itu selaras dengan nilai kebangsaan yang juga promosikan perdamaian dan persatuan. Ia mencontohkan Mohammad Hatta yang menyatakan 100% Islam sekaligus 100% Indonesia. Begitu juga dengan Soegijapranata yang mengatakan 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia.

“Masyarakat terbelah menjadi hitam dan putih dan tidak punya alternatif. Pandangan alternatif itu sebenarnya sudah menjadi konsensus nasional. Ada kearifan-kearifan dari para pendiri bangsa yang sekarang tenggelam,” imbuhnya. Karena itu, menurut Fajar, elite politik dan pemimpin agama perlu menahan diri untuk tidak melontarkan pernyataan yang bisa memicu sentimen agama dan rasial. Negara juga wajib mengelola keberagaman secara serius, serta masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan kematang-an dalam berdemokrasi.

Sila kelima telantar
Anggota Dewan Pengarah UKP-PIP Sudhamek AWS menyayangkan saat ini bertumbuh ekspresi keagamaan yang makin radikal. Menurutnya, masyarakat tidak perlu berpandangan secara dikotomis. Perbedaan harus dilihat sebagai keragaman. “Islam dan agama lain harus mempromosikan kedamaian, bukan pertentangan,” kata Sudhamek.

Cendekiawan yang juga anggota Dewan Pengarah UKP-PIP Ahmad Syafii Maarif mengatakan sebagian besar orang sudah tidak lagi melihat inti dari keislaman yaitu kemanusiaan. Hal itu menyebabkan kalangan muslim kerap bergesekan dengan penganut agama lain. Terkait dengan Pancasila, ia mengatakan masih dicari pola terbaik agar nilai-nilai luhur dalam Pancasila bisa dibumikan.

“Yang terlantar itu sebenarnya sila ke-5 (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Itu belum pernah dijadikan pedoman dalam membangun masyarakat sejak awal sejak kita merdeka. Itu tidak hanya untuk bidang pendidikan tapi juga birokrat dan politisi,” ucapnya. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya