Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

Segera Tetapkan Rencana Aksi SDGs

Dhika kusuma winata
27/9/2017 06:20
Segera Tetapkan Rencana Aksi SDGs
(MI/Ramdani)

KOALISI Masyarakat Sipil untuk Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) meminta pemerintah segera mengeluarkan dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) TPB.

Hal itu disebabkan, sejak penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian TPB, implementasinya dinilai belum signifikan.

"Sejak diterbitkannya perpres pada Juli lalu hingga kini, kami belum melihat pemerintah melakukan tindak lanjut. Tidak ada kemajuan berarti," kata Senior Adviser International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Mickael Bobby Hoelman di Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan, dalam Perpres No 59/2017, diatur soal tenggat penyusunan RAN TPB paling lambat enam bulan. Artinya, sambung Mickael, kini hanya tersisa sekitar tiga bulan sejak pengesahan perpres tersebut.

Dengan waktu yang tersisa, ia khawatir kualitas penyusunan RAN tidak optimal. Terlebih, ia juga menilai pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan RAN tergolong minim. "Kami khawatir apakah penyusunan RAN sesuai dengan arahan Presiden atau tidak. Padahal, Presiden selalu bilang akselerasi," imbuhnya.

Oleh karena itu, ia mengingatkan pemerintah agar tidak hanya memfokuskan SDGs dalam diplomasi internasional, tetapi juga menggenjot aksi nyata di dalam negeri. Berdasarkan laporan SDG Index and Dashboards 2017 yang dirilis lembaga internasional Sustainable Development Solutions Network (SDSN), peringkat Indonesia turun dua tangga jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Indonesia kini berada di posisi 100 dari total 157 negara. Menurut Mickael, hal itu mengindikasikan performa implementasi SDGs masih stagnan.

Indikator

Di sisi lain, Program Adviser Yayasan Tifa Donny Ardyanto menyoroti indikator-indikator pencapaian TPB yang perlu diperbaiki. Dari total 241 indikator untuk 169 target SDGs yang diadopsi pemerintah, hanya 20% yang sesuai dengan standar global Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Menurutnya, sebesar 51% menggunakan indikator proxy yang tidak memiliki kaitan langsung dengan standar global. Ia mencontohkan indikator tentang tingkat kematian akibat bunuh diri yang menggunakan ukuran jumlah kabupaten/kota dengan puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa. "Itu ibarat mengukur. Harusnya memakai penggaris, tetapi kita menggunakan jengkal," tuturnya.

Menurut Donny, ketidaktepatan indikator tersebut terjadi karena ketersediaan dan akses data antarkementerian/lembaga yang belum maksimal. Padahal, data merupakan elemen penting dalam menyusun dan menjalankan SDGs.

Direktur Eksekutif Institut Kapal Perempuan Misiyah menilai pemerintah perlu menguatkan komitmen TPB yang berpihak kepada perempuan dan anak. Ia menyarankan target TPB diperbaiki dan lebih ambisius.

"Keberpihakannya baru 5%. Misalnya, target menurunkan angka kematian ibu hanya 306 per 100 ribu kelahiran. Padahal, standar global sekitar 200. Soal perkawinan anak juga begitu, kita masih mempertahankan Undang-Undang No 1/1974 tentang Perkawinan yang membolehkan itu terjadi," pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya