Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
INDONESIA menduduki peringkat ke-5 di Asia dan urutan ke-13 di dunia dalam daftar negara dengan kematian terbanyak akibat asma. Data Riset Kesehatan Dasar 2013 juga menunjukkan sekitar satu dari 22 orang menderita asma. Namun, hanya 54% yang terdiagnosis. Dari jumlah itu, hanya 30% yang terkontrol baik. Faktor penyebabnya antara lain tingkat pengetahuan masyarakat akan asma yang masih rendah, juga minimnya fasilitas diagnosis dan terapi. "Kalau ada anak batuk dalam jangka waktu lama sering dipikir tuberkulosis (Tb). Orangtuanya selalu berpikir begitu, 'Tb-mania'. Padahal, bisa juga (batuk itu pertanda) asma," ujar Sekretaris Unit Koordinasi Kerja Respirologi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Wahyuni Indawati SpA(K) pada peluncuran program Healthy Lung, kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Astrazeneca di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (26/9).
Penyakit asma, lanjut dia, memang kerap terjadi pada anak-anak. Serangan asma yang berat mengancam jiwa karena menyebabkan obstruksi atau tersumbatnya saluran napas. Karena itu, penting mengenali gejala klinisnya untuk mencegah adanya serangan asma.
Namun, menurut Wahyuni, mengenali dan mendiagnosis asma pada anak-anak ternyata tidak semudah pada orang dewasa. Ada kesulitan melakukan pemeriksaan yang bersifat objektif. Seperti pemeriksaan dengan respirometri untuk melihat seberapa berat asma yang diderita anak. Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis, tinjauan terhadap gejala klinis asma pada anak-anak menjadi penting.
Wahyuni menyampaikan gejala itu umumnya ialah batuk-batuk, sesak napas, disertai mengi atau suara napas seperti peluit. Gejala itu muncul berulang (kambuhan) ketika anak terkena rangsangan atau faktor pencetus kekambuhan asma, serta memberat pada malam dan dini hari. "Asma merupakan salah satu bentuk alergi. Saluran pernapasannya menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan atau pencetus. Kalau kena pencetus, saluran napasnya menyempit sehingga anak sesak napas," terang dokter yang sehari-hari praktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu.
Faktor pencetus itu antara lain jenis makanan tertentu yang memicu alergi, adanya infeksi, perubahan cuaca, tungau yang hidup dalam debu di rumah, asap rokok, serta emisi kendaraan bermotor. Karena itu, lanjut dia, penanganan asma yang utama ialah menghindari pencetusnya. Selanjutnya, ketika kambuh, anak harus mendapat terapi yang tepat. Ia juga mengingatkan pentingnya pencegahan sedari awal dengan memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi baru lahir yang berisiko asma. "Kalau salah satu orangtua mengidap asma, sepertiga diturunkan pada anak. Kalau dua-duanya (ayah dan ibu), bisa 60%. Itu prediktor. Pemberian ASI bisa menekan risiko itu," katanya.
Terapi inhalasi
Wahyuni menjelaskan penderita asma membutuhkan obat pereda ketika mengalami kekambuhan. Jika sudah berat, asmanya harus dikontrol dengan obat pengendali. "Sehingga tidak mengganggu kualitas hidup anak. Gejalanya lebih terkendali, fungsi parunya normal, dan tumbuh kembang anak dapat optimal," tutur dia. Terdapat beberapa pilihan terapi obat pada asma. Ada yang diminum dan inhalasi atau dihirup dengan inhaler. Wahyuni mengatakan pilihan utama pada anak sebaiknya diberikan obat yang dihirup karena obat dapat langsung masuk ke saluran pernapasan dan bekerja lebih cepat. Selain itu, dosis dan efek sampingnya lebih kecil.
Sayangnya, menurut dokter spesialis paru dan respirologi dari Rumah Sakit Persahabatan, Faisal Yunus, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam penanganan asma. Hal itu ialah kurangnya sarana dan prasarana untuk diagnosis asma di fasilitas kesehatan. Selain itu, belum semua tenaga medis melakukan tata laksana sesuai dengan pedoman, ketersediaan obat untuk asma tidak merata di semua fasilitas kesehatan walaupun sudah tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), serta sistem rujukan rumah sakit yang belum berjalan dengan baik.
Pada kesempatan sama, Direktur Pengendalian Penyakit tidak Menular Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Lily S Sulistyowati mengatakan banyak orang tidak menyadari bahwa mereka menyandang asma. "Hal itu merupakan salah satu penyebab keterlambatan diagnosis dan tata laksana," ujarnya. Atas dasar itulah, Kementerian Kesehatan bersama PT Astrazeneca Indonesia bekerja sama meluncurkan program Healthy Lung. Program itu bertujuan meningkatkan kemampuan penanganan serta memperbaiki manajemen penyakit pernapasan di puskemas dan rumah sakit. Program itu mencakup edukasi pada 5.000 tenaga kesehatan serta memfasilitasi pengembangan pusat inhalasi di lebih dari 300 puskesmas dan rumah sakit umum daerah di Jakarta. (*/Ant/H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved