Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
MASYARAKAT penghayat agama leluhur nusantara atau penganut kepercayaan di Indonesia hingga saat ini mesih menunggu pengakuan dan perlakuan setara dengan masyarakat agama lain yang diakui menurut hukum di Indonesia. Tidak diakuinya agama yang secara turun-temurun mereka hayati kerap membuat mereka mengalami beragam kesulitan, khususnya dalam hal administratif.
“Kami merasa tidak diakui di negara sendiri. Banyak masalah kami hadapi baik dari segi administratif maupun sosial. Padahal di undang-undang dasar jelas dikatakan negara menjamin kebebasan masyarakatnya dalam memilih kepercayaan dan merupakan negara yang Bhineka,” ujar Taslim, warga penganut agama Kaharingan, suku Dayak Meratus, Kalimantan Selatan, dalam seminar Genosida Budaya, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, kemarin.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, kebebasan berpendapat pasca reformasi memang memberikan keuntungan bagi masyarakat dalam hal berpendapat. Namun, hal tersebut banyak dimanfaatkan kalangan yang kuat dan berkuasa untuk melakukan diskriminasi.
“Hingga menimbulkan sekaan ada upaya penyeragaman budaya. Padahal dalam tataran UUD jelas semua punya hak sama. Tapi kenyataannya berbeda sekali,” ujar Tri.
Dalam banyak hal, termasuk kepercayaan, masih banyak masyarakat Indonesia mengalami marginalisasi. Dibutuhkan upaya penanaman pemahaman yang kuat terkait makna kesetaraan,keadilan sosial, dan kebebasan menentukan kepercayaan seperti yang tertera dalam UUD 1945.
“Perlu pemahaman yang baik agar ada pengakuan pada agama-agama leluhur dalam kehidupan berbangsa. Perlu dibangun jejaring untuk menguatkan perhatian dan penelitian terkait masalah agama-agama leluhur, sebagai bangaindari wujud keberagaman Indonesia,” ujar Tri.
Dikatakan Tri, tidak hanya infrastruktur fisik, pemerintah juga harus lebih serius memerhatikan infrastruktur sosial yang ada di masyarakat seluruh Indonesia. Penelitian terkait ilmu sosial dan kemanusiaan harus menjadi salah satu pertimbangan utama dalam setiap pembuatan kebijakan.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, mengatakan, pada dasarnya undang-undang negara Republik Indonesia menjunjung tinggi HAM, khususnya mengenai kepercayaan setiap individu. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan merupakan hak yang melekat dan tidak boleh dibatasi.
“Sebagai bangsa yang memercayai Bhineka Tunggal Ika, seharusnya sudah tidak ada lagi diskriminasi antara agama dan kepercayaan. Namun hal itu tidak terjadi sekarang. Saat ini masyarakat kita mengalami defisit toleransi,” ujar Sidarto. (OL-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved