Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Dian Kartikasari Mendorong Perempuan Memahami Kekuatannya

Rizky Noor Alam
07/9/2017 04:44
Dian Kartikasari Mendorong Perempuan Memahami Kekuatannya
(MI/ROMMY PUJIANTO)

DIAN Kartikasari bukanlah sosok asing di dunia aktivis. Perempuan dengan potongan rambut pendek ini menjabat Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sejak 2009. Kini di periode kedua jabatannya, Dian terus konsisten melaksanakan berbagai program pemberdayaan perempuan, khususnya untuk pemberdayaan politik dan kesadaran sebagai warga negara.
Semangat Dian yang begitu besar dalam dunia aktivis nyatanya memang sudah tumbuh sejak masa remajanya. Berbicara kepada Media Indonesia di Kantor KPI di Jakarta Selatan, Senin (14/8), perempuan berusia 51 tahun ini bercerita mengenai awal perkenalannya dengan kegiatan relawan.

"Ibu saya, selain pekerja di perusahaan, ikut Prayuwana, semacam relawan untuk anak-anak korban kekerasan yang dimiliki polisi, dan kemudian saya membantu kegiatan ibu saya itu," imbuh perempuan asal Madiun, Jawa Timur, ini. Bagi Dian muda, kegiatan kerelawanan ataupun kegiatan lain yang berhubungan dengan bidang sosial sangat menyenangkan. Ketertarikannya pada bidang itu bisa dilihat pula dengan keaktifannya di ekstrakulikuler Palang Merah di sekolah.

Selain menjadi koordinator untuk kegiatan sekolah, ia bertugas mengorganisasi kelompok-kelompok marginal di wilayah sekitar Kali Code, Yogyakarta. Saat Dian lulus kuliah pada 1992, aktivitas sosialnya sempat terhenti. Ia fokus bekerja untuk bisa menyekolahkan empat adiknya. Dian yang merupakan anak kedua berjanji kepada sang ibu yang saat itu menderita sakit kanker untuk bisa tetap menjamin kelangsungan pendidikan adik-adiknya.

Ketika kemudian sang ibu meninggal setelah enam bulan berjuang melawan kanker, Dian pun berkomitmen menunaikan janjinya, bahkan hingga menjadikan adik-adiknya sarjana. Lulusan sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini melakoni berbagai pekerjaan, mulai menjadi editor sebuah majalah hingga bekerja di perusahaan penerbangan.

Bukan hanya lapisan atas
Kerinduan Dian akan dunia aktivis baru terpuaskan lagi mulai 1998. Saat itu ia bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum-Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). Ia menjadi relawan di bidang komunikasi. Setelah setahun bersama LBH-APIK, Dian bergabung dengan KPI di bidang advokasi kebijakan publik. Di lembaga yang fokus pada pemberdayaan politik perempuan dan kesadaran sebagai warga negara itu, Dian mendapat pemahaman lebih dalam tentang kerja aktivisme termasuk faktor-faktor penting yang menentukan keberhasilan program.

"Dari situlah saya mulai mengatur kegiatan aktivisme ini tidak akan berjalan baik jika hanya menyentuh lapisan atas, tapi juga harus mengorganisasi yang di desa-desa sehingga kita bisa membantu mereka yang benar-benar membutuhkan dan bisa terorganisasi menyelesaikan masalahnya itu," jelasnya. Seiring dengan waktu Dian makin memahami kekuatan dalam sosok perempuan, termasuk dampak besarnya jika kaum perempuan mampu memberdayakan diri dengan baik.

Maka lewat lembaganya, Dian mendorong para perempuan agar dapat memahami kekuatan mereka dan meraih segala hal yang mereka bisa. "Mereka bisa kita dorong, semua hal yang sebenarnya kita ingin mengatakan perempuan itu sebenarnya bisa apa saja kalau mau berusaha," cetusnya. Kerja Dian tidak mulus begitu saja. Ia harus menghadapi berbagai macam tantangan mulai adat istiadat hingga stigma akibat pola bantuan berdasarkan uang yang kerap dilakukan organisasi kemasyarakatan lainnya.

"Ada kendala di saat sebuah daerah merupakan daerah yang banyak proyek donor. Donor yang datang itu memberi masyarakat uang. Jadi kalau kami kan tidak punya uang tapi mereka akhirnya tahu bahwa kegiatan kami ini penting, kemudian mereka iuran dan tidak memikirkan soal uang," imbuhnya. Terkait dengan adat dan budaya, tantangan berat ditemui di daerah perdesaan. Dia menuturkan kerap kali para pria yang menjadi tokoh di perdesaan bersikap seolah menyetujui dan menerima program.

Namun, persetujuan dan dukungan hanya dalam ucapan, tidak dalam tindakan. "Jadi membangun waktu untuk berkomunikasi saja sulit, kecuali di perkampungan miskin kota itu masih ada ruang untuk bertemu dan beriuran. Masyarakat perkotaan itu biasanya menjadi solid jika sedang menghadapi masalah bersama, misalnya penggusuran," jelasnya. Namun, sederet tantangan itu nyatanya belum dianggap terberat.

Justru, bagi Dian, tantangan terberat ialah membangun komunikasi dengan pada kader yang sudah sukses. Akibat beratnya komunikasi, KPI kerap harus melakukan pengaderan dari bawah lagi untuk menggantikan para kader yang sudah sukses tersebut. Saat ini KPI memiliki 45 ribu anggota aktif yang tersebar di 20 provinsi, 181 kabupaten, dan 1.200 desa di Indonesia. Di sisi lain, dia juga mengaku harus menghadapi kendala lain terkait dengan statusnya sebagai seorang janda.

"Ada orang-orang yang punya kecenderungan untuk bicara negatif, tapi buat saya selama saya tidak mengganggu dia dan saya tidak terganggu, biarkan saja. Toh nanti dia akan tahu sendiri, jadi saya jalani saja hidup saya. Terserah mereka mau menilai bagaimana, itu urusan mereka," cetus perempuan yang kehilangan sang suami pada 2004 akibat bencana tsunami di Aceh itu.

Sebagai orangtua tunggal dari dua anak, Dian memilih menjalani hidup dengan penuh optimisme sekaligus keikhlasan. Baginya, segala peran di dunia ini merupakan bagian dari perjalanan yang sudah digariskan. Dengan cara pandang itu pun dia tidak hanya menjadi perempuan yang berdaya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat. "Hidup ini sebenarnya bagian dari perjalanan. Kalau memang yang harus dihadapi seperti itu, ya, harus dihadapi," ucapnya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya