Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Penanganan Kusta Andalkan Dana Pusat dan Luar Negeri

Mohammad Ghozi [email protected]
30/8/2017 04:01
Penanganan Kusta Andalkan Dana Pusat dan Luar Negeri
(thinkstock)

MARWIYAH, 41, tidak pernah menyangka anaknya yang kini berusia 18 tahun akan terkena penyakit yang selama ini ia takuti, kusta. Anak semata wayangnya itu terdeteksi menderita penyakit tersebut ketika masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar (SD).
Ketakutannya bukan tanpa alasan sebab 14 tahun lalu suaminya pun meninggal dunia dengan kondisi tubuh yang juga didera kusta. Sejak itulah Marwiyah hanya tinggal berdua dengan sang putra di rumah semipermanen mereka di salah satu desa di Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, Jawa Timur.

Perempuan itu menduga anaknya yang berinisial N menderita kusta atau lepra akibat tertular ayahnya sebab remaja itu sering mengenakan pakaian sang ayah saat membantu menyabit rumput untuk pakan ternak. Awal perempuan itu mencurigai N mengidap kusta, setelah melihat kondisi kulit pada beberapa bagian tubuh anaknya berubah. Kondisinya mirip dengan mendiang suaminya serta beberapa tetangga yang juga menderita penyakit sama. Meski tahu kulit anaknya berubah dan diduga menderita kusta, ketika itu Marwiyah tidak berani memeriksakan N ke puskesmas lantaran tidak punya uang. Selain itu, ia juga khawatir jika benar menderita kusta, anaknya akan dikucilkan, seperti dialami suaminya dan penderita kusta lainnya di desa itu.

"Lamun anak kuleh etemmoh sakek lepra, pas ejheuih bik tatanggheh (kalau anak saya diketahui mengidap lepra, pasti akan dikucilkan)," kata marwiyah dalam bahasa Madura saat ditemui beberapa waktu lalu. Perempuan yang sehari-hari berjualan kebutuhan sehari-hari di Pasar Robatal itu mengaku, selama satu tahun pertama ia hanya mengobati kulit anaknya dengan obat oles dan pengobatan tradisional. Namun, karena kulit tangan N mengerut, sebagian jari tangan kiri bengkok, serta wajahnya memerah setiap terkena matahari, ia memberanikan diri membawanya ke puskesmas.

Kekhawatirannya terbukti. Dokter menyatakan N menderita kusta. "Anak saya harus berobat rutin," katanya. Marwiyah juga diharuskan minum obat sebagai antisipasi penularan. Sejak itu, N memperoleh obat secara gratis dari puskesmas. Namun, setamat SD, dia tidak mau melanjutkan sekolah karena malu. Dia juga hanya beraktivitas mencari pakan ternak di sekitar rumahnya. Setelah lebih dari satu tahun berobat, akhirnya ia dinyatakan sembuh. Saat bertemu menjelang keberangkatannya ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI, dia menolak menjawab saat ditanya seputar penyakitnya dan segera berlalu dengan tatapan ketidaksukaan. Namun, sempat terlihat jari kelingking dan jari manis pemuda itu bengkok akibat penyakit yang pernah dideritanya.

Marwiyah mengatakan, beberapa tetangganya juga menderita kusta. Namun, mereka tertutup dan jarang berkomunikasi dengan tetangga. Bahkan, keluarga juga membatasi ruang gerak anggotanya yang menderita kusta karena menilai penyakit tersebut sebagai aib. Di antara mereka juga enggan membawa penderita untuk berobat karena khawatir hal itu diketahui orang lain. "Di sini lepra diyakini bukan hanya penyakit biasa, tapi dianggap sebagai penyakit bhastoan (kutukan) yang tidak bisa disembuhkan," ujar Marwiyah. Di desa tempat Marwiyah tinggal, sebetulnya penanganan kusta kerap disosialisasikan petugas dinas kesehatan, puskesmas, bidan desa, bahkan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun, penderita maupun keluarga penderita selalu tertutup dan enggan berobat.

Ditutup-tutupi
Aktivis Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim), Tamsul, mengatakan pencarian penderita baru penyakit yang memiliki tingkat penularan tinggi itu sering terkendala ketertutupan penderita maupun keluarganya. "Ketika kami mendapatkan informasi ada seorang yang diduga penderita kusta, saat kami datangi rumahnya, keluarganya menutup-nutupi," ujarnya di Sampang. Ia dan lembaganya selama ini melakukan pendampingan penanganan kusta di Madura. Aktivitas itu dilakukan sejak 2015 dengan biaya operasional swadaya. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sampang Firman Pria Abadi mengaku kesulitan mendata warga yang diduga menderita kusta. "Itu salah satu kendala. Mereka sangat tertutup meski kami datang untuk membantu," katanya.

Madura, merupakan salah satu penyumbang angka penderita kusta terbesar di Jatim. Sekitar 35% penderita lepra di provinsi itu berasal dari empat kabupaten di Madura, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Tingkat prevalensi kusta di wilayah itu pada awal tahun ini juga tinggi. Di Sumenep, daerah dengan jumlah penderita terbanyak di Madura, prevalensinya 4 sampai 5 orang per-10 ribu penduduk. Padahal, angka idealnya di bawah 1 per 10 ribu penduduk. Sayangnya, tingginya angka penderita kusta di Madura belum diimbangi dengan anggaran yang cukup oleh pemerintah kabupaten. Bahkan, selama ini penanganan penyakit tersebut masih bergantung pada dana APBN dan bantuan luar negeri. Pada 2016, dari total dana Rp1,3 miliar untuk penanganan kusta di Madura, sebesar Rp928 juta di antaranya berasal dari APBN dan Rp372 juta lagi dari bantuan luar negeri. Sementara itu, APBD Jatim maupun APBD kabupaten sama sekali tidak mengalokasikan dana untuk itu. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya