Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Orangtua Tunggal Berdaya

Rizky Noor Alam
24/8/2017 04:00
Orangtua Tunggal Berdaya
(MI/ADAM DWI)

MENJADI janda dan duda harus disikapi dengan kemandirian dan tanggung jawab. Semangat itulah yang melatari Titi Atmojo ketika merintis komunitas Single Parent Indonesia pada 2007, berkolaborasi dengan Cahyo Dwi Putranto. Idenya agar punya kawan seperjuangan dan lingkungan yang menguatkan. "Jadi dulu saya baru saja menjadi single parent, butuh teman sepenanggungan untuk sharing karena enggak semua orang mengerti kehidupan single parent, struggling-nya, terlebih single mother, kan jarang banget anak-anak ikut bapaknya. Saya ingin sharing dan banyak sih teman-teman yang mau mendengarkan, tapi mereka bukan single parent," jelas Titi ketika dijumpai Media Indonesia, Rabu (26/7).

Titi menegaskan, meskipun banyak teman yang bersedia mendengar keluh kesahnya dan memberikannya nasihat, tetap saja perspektifnya berbeda karena mereka bukan seorang single parent. Mereka, lanjut Titi, butuh masukan yang sesuai dengan statusnya yang istimewa. "Akhirnya, saya Googling dan mencari komunitas single parent, tapi enggak ada. Lalu saya cari-cari blog terkait dengan single parent dan ketemu sebuah blog. Akhirnya saya kenalan dengan yang punya blog namanya Cahyo Dwi Putranto, dari situ saya mengobrol," imbuhnya.

Momen bertemunya Titi dengan Cahyo tersebut membuat mereka bersemangat membuat komunitas oarngtua tunggal. Cahyo sendiri memang rajin nge-blog karena memiliki kepedulian terhadap teman-temannya yang single parent atau yang akan menyandang status itu.
Selanjutnya, mereka pun sepakat membuat komunitas Indo Single Parent melalui mailing list (milis), membuat visi misi dan peraturan komunitas. "Dari situ, mulailah masuk anggota, terus kita adakan pertemuan newbie untuk bahas langkah-langkah ke depan, sharing, dan milisnya sampai ramai karena anggotanya ribuan waktu itu," lanjut Titi. Agar komunitasnya eksis, Titi merintisnya dengan menyebar e-mail di berbagai milis. Namun, selain respons positif, ada pula orang-orang iseng yang mengira komunitasnya biro jodoh.

Sebaliknya, dukungan datang dari mereka yang bukan single parent dan memutuskan bergabung karena mereka memiliki kepedulian. "Lama-kelamaan terseleksi dengan sendirinya dan aturan kita ketat, orang yang aneh dan memiliki maksud lain itu nanti akan mental sendiri karena anggota sudah mulai timbul kesadaran," imbuhnya.

Wahana belajar
Komitmen itu pun dijaga, visi menjadikan komunitas Indo Single Parent sebagai wahana belajar mandiri secara finansial, rohani, dan jasmani. Artinya jika rohani sehat, hubungan dengan Tuhan baik dan kalau kesadaran itu ada akan dapat menjaga diri, bisa menjaga perilaku, dan bertanggung jawab. "Karena stigma masyarakat itu negatif terhadap single parent, terutama janda. Kami mau orang mengubahnya. Kami janda, tapi bukan berati bisa dicolek-colek. Kami punya dignity, punya hubungan baik dengan Tuhan, menjaga diri sendiri, dan secara keuangan berusaha mandiri, daripada menangis, minta-minta kepada mantan suami yang sudah tidak peduli terus akhirnya putus asa," kata Titi.

Kemandirian secara finansial, kata Titi, harus diupayakan karena, bagi mereka yang lajang tetapi membawa anak, putra-putrinya menjadi tanggung jawab penuh sekaligus sumber motivasi. "Jadinya kita terpacu bekerja dengan baik dan benar, serta di jalan yang halal," lanjut ibu satu anak tersebut.

Berbagai pelatihan
Agenda besar itu kemudian diimplementasikan Titi dan kawan-kawannya dengan berbagai kegiatan, mulai pelatihan finansial seperti garage sale, pelatihan pengelolaan keuangan seperti asuransi, reksa dana, serta kewirausahaan. Pelatihan-pelatihan tersebut diharapkan memacu anggotanya move on, bergerak menyongsong masa depan. Titi mengakui menemukan jadwal berkumpul yang pasti dan cocok dengan semua anggota menjadi tantangan terbesar. Kendati begitu, kopi darat atau perjumpaan langsung rutin digelar untuk memperkenalkan anggota baru, pelatihan, serta pertemuan spontan. "Sulit menentukan jadwal yang pas karena selain kami mencari nafkah, juga harus mengurusi anak-anak mereka," kata Titi.

Kendati begitu, berbagai medium komunikasi lainnya, mulai BBM dan Whatsapp Messenger, diefektifkan untuk terus menguatkan kemandirian dan kepercayaan diri. "Agar jalannya lebih smooth, daripada hanya mengeluh dan meminta saja sehingga kita punya motivasi dan lebih semangat, serta tidak perlu mengharapkan bantuan dari orang yang sudah tidak peduli lagi," paparnya. Kini, anggota-anggota yang tergabung dalam komunitas ini pun berasal dari beragam latar belakang, mulai unmarried single parent, korban KDRT, pemerkosaan, hingga perceraian akibat orang ketiga. Berbagai kondisi itu mengharuskan para anggota hanya diperbolehkan berdiskusi secara normatif, tidak boleh menyulut polemik, SARA, tak menghakimi, serta saling menerima kondisi dari aneka latar belakang.

Ibu lebih aktif
Istimewanya, para ibu jauh lebih aktif jika dibandingkan dengan para bapak. "Sejujurnya kalau bapak-bapak itu biasanya cuma berani di milis, mereka ramai, saling saut. Namun, kalau ketemuan susah sekali. Kalau single mother lebih aktif, open, ekspresif, berani muncul. Kalau single father, lebih menutup diri," paparnya. Kini, anggota Indo Single Parent mencapai 1.000-an, tersebar dari Sabang sampai Merauke. "Selain itu, banyak anggota yang sudah lulus, maksudnya menikah, moving forward dan mapan secara finansial maupun kepercayaan diri, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika jatuh," ujar Titi yang berharap semakin banyak single parent yang bisa dijangkau dan dibantu. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya