Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
KISAH hidupnya yang berjuang menyelamatkan sang anak ketika dirundung di sekolah karena penampilan fisiknya yang berbeda, pun mendengar celotehan tentang pertemanan yang hanya berorientasi pada kesamaan agama, membuat Eva Christine Paulina Simanjuntak memutuskan turun langsung ke lapangan. Ia kini intens mengajar keberagaman dan budi pekerti di sekolah-sekolah. Perjalanan itu telah dimulainya sejak SMA, mengikuti patroli keamanan sekolah yang dilatih Polda Metro Jaya, yang pesertanya berasal dari semua provinsi yang ada.
"Waktu SMA itu saya ikut di patroli keamanan sekolah dan itu dilatih di Polda Metro Jaya. Semua wakil provinsi ada. Di sana saya melihat keberagaman kami semua, tapi dalam satu komando. Awalnya berbeda-beda dan berantakan. Namun, akhirnya bisa diatur dalam satu komando yang bagus," ungkap Eva membuka percakapan Jumat (16/6) sore itu. Eva berpikir, alangkah indahnya jika keberagaman dapat dipadupadankan dan ditampilkan dalam suatu gerakan baris berbaris yang teratur dan indah saat upacara bendera.
"Jadi, mau tinggi atau pendek, atau warna kulit apa pun, akan menjadi indah kalau bersatu," imbuhnya. Interaksi dengan isu keberagaman terus berlanjut hingga Eva kuliah. Saat kuliah di Universitas Katolik Atma Jaya pada 1993, bisa dibilang ia seorang minoritas karena dirinya ialah suku Batak. "Saat itu mayoritas (mahasiswa) di sana adalah etnis Tionghoa dan berkulit putih dan saya seorang Batak, tapi kita tetap satu," imbuh Project Director of Batavia Oranje Production Jakarta serta pengajar bahasa Inggris dan komputer di Lembaga Pendidikan Indonesia-Amerika itu.
Interaksi keberagaman yang diterimanya pun semakin kaya saat mengambil kelas double degree di Universitas Indonesia pada 1994. Ia bertemu beragam mahasiswa dari seluruh penjuru sehingga memantapkan dirinya bahwa kita (Indonesia) memang beragam.
Kawin campur
Namun, bayangan indah keberagaman tersebut hancur seketika, saat anaknya mengalami diskriminasi di sekolah. Anaknya memang berbeda karena hasil dari kawin campur. Ia menyekolahkan anaknya pada sekolah swasta yang memiliki pendidikan agama yang baik, yang menurutnya tidak mungkin ada diskriminasi. Namun, nyatanya hal itu menimpa anak semata wayangnya.
"Anak saya dikatakan negro lalu rambutnya dibilang seperti budak. Negro itu identik dengan perbudakan, kulitnya hitam," ungkapnya. Sejak saat itu, dirinya sebagai seorang ibu, bahkan ibu tunggal, gelisah dengan perilaku anak-anak yang merintis sikap rasialis, di usia belia, kelas 3 SD.
"Puncaknya adalah anak saya yang tidak bisa melawan karena saya melarang untuk melawan, anak saya ditendang sampai hernia, sampai dirawat di rumah sakit. Dari situ saya menangis dan menyadari bahwa ternyata anak-anak juga mengenal kebencian," imbuhnya. Kejadian yang dialaminya pada 2008 tersebut ialah kegiatan yang tidak bisa dilupakan. Pengalaman pahit itulah yang membuat dirinya bergiat pada isu-isu keberagaman, juga budi pekerti. Sejak saat itu, ia aktif mengajarkan masalah keberagaman dan budi pekerti ke sekolah-sekolah.
Pesantren hingga sekolah Katolik
"Di antaranya, Paskalis, Strada, Regina Pacis, di sekolah negeri juga, termasuk sekolah Muhammadiyah. Saya juga pernah mengajar di pesantren di daerah Pamekasan, Madura. Saya bukan mengajar agama, melainkan lebih pada bagaimana tentang keberagaman, di mana harus bisa menerima perbedaan yang ada," jelas ibu berusia 42 tahun tersebut. Menurut Eva, kesadaran keberagaman saat ini cenderung lebih parah daripada sebelumnya. Namun, hal tersebut sebenarnya bisa ditanggulangi melalui pendidikan yang diberikan di rumah. "Saya tidak bilang pendidikan agama itu salah. Namun, kalau diberikan salah, itu jadi berisiko," imbuhnya.
Eva menambahkan, hal tersebut terjadi di sejumlah sekolah, hampir dalam semua latar belakang agama. Doktrin yang paling mengganggu, mereka tidak boleh berteman dengan yang berbeda agama. Dirinya ingat memiliki pengalaman yang sangat berbekas dengan salah seorang murid perempuannya. "Ada satu anak yang sampai sekarang, saya suka sekali momen itu. Anak itu mencium saya dengan bilang ke saya, 'Kamu berbeda, dan saya suka'. Tentunya, saya heran kepada anak ini," kenangnya. Eva menjelaskan bahwa berdasarkan pengakuan anak tersebut, anak tersebut menyukai dirinya karena senang dengan gaya berpakaiannya yang berbeda, cara mengajar yang lucu dan tidak menggurui.
Bahkan, anak tersebut pun mengaku suatu saat ingin berpenampilan seperti dirinya. Upaya yang dilakukan Eva, untuk mengajarkan keberagaman dan budi pekerti tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Di awal-awal, aktivitasnya tersebut ditentang keluarganya. Bagi keluarga Eva, alangkah lebih baiknya untuk fokus dalam mengurus dan membesarkan anak semata wayangnya, dari pada mengurusi hal-hal lain. "Tadinya kegiatan saya ini enggak didukung karena mereka (keluarga) berpikir untuk apa mengajarkan anak-anak orang ke mana-mana. Mereka menekankan agar saya fokus karena saya seorang single mom. Sempat terjadi konflik, tapi akhirnya mereka melihat pendirian saya," papar Eva yang menjadi ibu tunggal sejak 2003 tersebut.
Orangtua tunggal
Tantangan lainnya bagi Eva mengubah persepsi masyarakat tentang janda. Namun, ia membuktikan mandiri dan berdaya tanpa harus berorientasi pada pengakuan dari orang lain. Eva pun mengorelasikan pembuktian tentang eksistensi diri itu dengan aktivitasnya bergiat dengan isu keberagaman. "Sejauh ini saya merasa saya masih kurang untuk menjadi lebih baik lagi. Saya maunya semua orang itu bergandengan tanpa melihat perbedaan, saya enggak peduli orang mau bicara apa. Ini saya dan saya mencari nafkah dengan hal-hal yang baik dan tidak menghalalkan berbagai cara dan tidak juga mengganggu orang lain. Saya tetap menjalani apa yang saya kerjakan," ungkap ibu yang hobi menulis cerita dan mendesain kerajinan tangan tersebut.
Dalam melakukan aktivitasnya selama ini, Eva mengaku dirinya terinspirasi dengan seorang ibu bernama Joan Mavis yang memiliki panti asuhan Bukit Karmel di kawasan Puncak, Bogor.
Baginya, sosok Joan Mavis tersebut yang mendidik dirinya dari nol sampai saat ini memberikan banyak ilmu juga berbagi. Ia pun rutin mengajar di panti asuhan setiap akhir pekan. Saat mendidik anak semata wayangnya, Eva mengaku hal mendasar yang paling awal ditanamkan ialah masalah moral dan budi pekerti, disusul agama. "Kalau saya, memilih ajarkan nilai-nilai dai rumah dulu, aturan mainnya bagaimana, ibu menjadi role model-nya. Jadi, tanamkan budi pekerti, moral, dan next step-nya baru agama," ungkapnya.
Dalam membagi waktu untuk anaknya pun Eva tidak kesulitan karena pekerjaannya selama ini memiliki waktu yang fleksibel bahkan bisa dikerjakan di rumah. "Saya mohon untuk para ortu untuk bisa mengajarkan kisah keberagaman itu, layaknya kita mau jalan-jalan ke suatu destinasi yang banyak dikunjungi orang. Menuju ke tempat itu, bisa menggunakan berbagai macam moda transportasi, tapi tujuannya sama. Kamu tidak bisa memaksakan orang ke tempat wisata dengan pesawat, sedangkan uang yang dia punya hanya cukup untuk naik kereta. Jadi, dengan cara apa pun kamu bisa ke sana dan tidak usah mengganggu perjalanan orang lain karena kenyamanan orang kan juga berbeda," ujar Eva. Eva mengilustrasikan keberagaman itu seperti pelangi.
"Tidak akan menjadi indah jika pelangi hanya terdiri dari satu warna," pungkas Eva. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved