Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Barudak mangka ngalarti
Ulah rek kadalon-dalon
Enggon-enggon nungtut elmu
Mangka getol mangka tigin
Pibekeleun sarerea
Modal bakti kanagara
SORE itu, kian merdu nan menarik kala Epon mempraktikkan nyanyian pupuh atau puisi tradisional dari Sunda. Epon, yang merupakan seorang guru sekolah dasar, sekaligus pemilik sanggar yang sampai saat ini masih terlibat dalam acara kebudayaan dan kesenian Sunda. Ia menjelaskan bahwa Pupuh yang ia nyanyikan merupakan jenis Pupuh Wirangrong.
"Pupuh merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk puisi. Pupuh termasuk bagian dari sastra Sunda dan pupuh terikat oleh aturan atau biasa kita sebut patokan. Patokan itu berupa guru wilangan, guru lagu, dan watek. Guru wilangan merupakan jumlah suku kata atau biasa disebut engang pada tiap padalisan, dalam bahasa Indonesia larik atau baris. Kalau guru lagu itu sora panungtun atau bunyi vokal akhir pada tiap larik atau baris. Watek sendiri ialah karakteristik isi dalam pupuhnya," ungkap Epon, yang ditemui di kediamannya, Toge, Bogor Barat Sabtu, (26/1).
Lebih lanjut, Epon menjelaskan bahwa terdapat 17 jenis pupuh yang kemudian terbagi dalam dua buah kategori. Yang pertama disebut Sekar Ageung, dan yang kedua disebut Sekar Alit. Untuk Sekar agung terdiri dari 4 jenis pupuh, sedangkan Sekar Alit terdiri dari 13 pupuh. Perbedaan yang terletak pada kedua sekar ini ialah Sekar Ageung merupakan pupuh yang ketika dinyanyikan bisa menggunakan beberapa macam lagu. Berbeda dengan Sekar Alit yang terikat dan hanya bisa dinyanyikan dengan satu macam lagu saja.
Pupuh yang termasuk dalam kategori Sekar Ageung antara lain pupuh sinom, pupuh dangdanggula, pupuh kinanti, dan pupuh asmarandana. Pupuh yang termasuk dalam kategori Sekar Alit, antara lain pupuh lambang, pupuh maskumambang, pupuh pucung, pupuh ladrang, pupuh balakbak, pupuh pangkur, pupuh magatru, pupuh juru demung, pupuh mijil, pupuh wirangrong, pupuh gurisa, pupuh gambuh, dan pupuh durma. Tiap-tiap pupuh, memiliki watek atau karakteristik yang bisa terlihat ketika pupuh tersebut didendangkan atau dinyanyikan.
"Setiap pupuh, itu punya karakteristik tersendiri. Seperti pupuh sinom, pupuh ini biasanya menggambarkan kegembiraan, kesenangan, dan kasih sayang. Pupuh sinom ini terdiri dari sembilan baris atau padalisan. Berbeda hal dengan pupuh dangdanggula, pupuh ini menggambarkan kawasaan (keindahan), kagumbiaraan (kesenangan), katengtraman (ketentraman), atau kaageungan (kebesaran). Pupuh dangdanggula sendiri terdiri dari 10 baris atau padalisan," lanjutnya.
Epon, lalu melanjutkan penjelasannya mengenai pupuh yang ia batasi hanya sebatas Sekar Ageung saja. Pupuh kinanti sendiri menggambarkan perasaan khawatir, resah, atau cinta. Pupuh ini terdiri dari 6 baris di setiap baitnya. Terakhir ada pupuh asmarandana yang menggambarkan percintaan, rasa sayang, atau asmara yang ditujukan kepada pasangan kekasih, keluarga, atau bisa juga kepada teman. Pupuh ini sendiri terdiri dari 7 baris di setiap baitnya.
Muatan lokal
Pupuh, yang merupakan salah satu puisi tradisional. Saat ini masih terus dikenal masyarakat Sunda. Hal ini terjadi karena pengajaran pupuh sendiri dilakukan sedari kecil dan selalu masuk dalam mata pelajaran muatan lokal di setiap sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Di Bogor, Epon mengatakan bahwa pupuh akan selalu menjadi pembahasan dalam mata pelajaran bahasa Sunda.
Dengan dipelajarinya pupuh sedari kecil, masyarakat Sunda tentunya akan terus tertanam akan tradisi dan budaya yang telah mengakar di pikiran mereka sedari kecil. Hal ini dibuktikan dengan empat mahasiswi Universitas Negeri Jakarta, yang berdomisili di Bogor. Icha, Andriani, Trisda, dan Tiyas merupakan mahasiswi asal Bogor yang kini menempuh pendidikan di Jakarta.
Ketika mereka ditanya mengenai pupuh, dengan mantap keempat orang ini mampu memaparkan mengenai pupuh, jenis-jenisnya, dan isinya. Bahkan, mereka mampu menyanyikan beberapa pupuh. Penanaman nilai-nilai budaya dan tradisi semacam ini memang bisa dikatakan merupakan cara yang jitu dan ampuh untuk menjaga kelestarian budaya di Indonesia. Anak-anak muda yang bisa dikatakan millenial, nyatanya masih tertanam sebuah budaya dan tradisi yang dengan mantapnya bisa mereka nyanyikan.
"Sampai saat ini, setahu saya pupuh masih terus dipelajari dari SD sampai SMA. Sebagai seorang guru dan juga sebagai orang Sunda, saya merasa bangga dengan terus dilestarikannya pupuh ini. Bisa dikatakan pupuh masih terus berjaya dan punya tempat di hati orang-orang Sunda. Coba saja tanyakan kepada orang Sunda, apakah mereka mengetahui dan bisa menyanyikan pupuh, mereka pasti bisa menyanyikan pupuh!," tutup Epon dengan semangat. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved