Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Sutardji Calzoum Bachri - Tidak Sengaja Jadi Presiden Puisi

Puput Mutiara
07/5/2017 08:57
Sutardji Calzoum Bachri - Tidak Sengaja Jadi Presiden Puisi
(Sutardji Calzoum Bachri -- ANTARA FOTO/Teresia May)

KALAU Amir Hamzah kan dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru, Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45. Saya sebut ketika itu, sayalah Presiden Puisi Indonesia. Presiden puisi, bukan penyair,” demikian kata Sutardji Calzoum Bachri, 76, di hadapan hadirin ajang Sastra Pelataran Semarang yang berlangsung di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah, Semarang, Jumat (5/5) malam lalu.

Saat itu Sutardji menceritakan asal mula julukan yang didapatnya saat tampil pada suatu perhelatan sastra sekitar tahun 1970-an. Saat itu dirinya tampil demikian sebagai metafora dalam pesona kesusasteraan.

Sederetan penyair hadir pula pada ajang sastra yang secara khusus menampilkan Sutardji itu. Kemudian hadir juga pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thalibien, Rembang, Jawa Tengah, KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).

Sutardji mengisahkan, dulu pernah tampil mengenakan busana ala Presiden Republik Indonesia periode 1945-1966 sekaligus Proklamator Kemerdekaan RI, Ir Soekarno (Bung Karno). Namun, Sutardji mengubah penampilan Soekar­no Look, yang berciri khas membawa tongkat komando dengan menenteng botol bir.

Tak disangka, julukan ‘presiden’ kemudian melekat dengan sosoknya yang kerap disematkan media massa di depan namanya. Julukan itu terus bertahan sampai sekarang meski pria kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada 24 Juni 1941 itu mengakui dirinya tidak menganggap penting julukan itu.

Bahkan, Sutardji secara blak-blakan mengakui sempat khawatir ketika banyak surat kabar ketika itu menyebutnya dengan julukan ‘presiden’ karena pada masa itu istilah ‘presiden’ sebagai sesuatu yang tidak boleh disandang siapa pun, kecuali Presiden Soeharto.

“Saking masa itu kan banyak orang takut. Apalagi, disebut presiden meski presiden puisi. Bagi saya julukan itu hanya pemanis, tidak usah diseriuskan. Saya sendiri tak pernah mengucapkan itu lagi setelah manggung waktu itu,” katanya.

Sutardji dalam ajang sastra di Semarang sempat membacakan 10 puisi. Salah satunya berjudul Laila Seribu Purnama. Diakuinya puisi ini terinspirasi dari momentum malam Lailatul Qodar dan sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadan.

Sebagai seorang pujangga, Sutardji telah menelurkan banyak karya sastra. Karyanya yang pertama dibuat pada 1973 berjudul O. Tiga tahun kemudian, karyanya ini mendapat hadiah puisi dari DKJ. Karya Sutardji lainnya ialah Amuk (1977), Kapak (1979). Kemudian pada 1981, tiga buku kumpulan puisi­nya ini digabung menjadi O, Amuk Kapak.

Selain itu, Sutardji juga membuat kumpulan esai berjudul Isyarat, dan kumpulan cerpen berjudul Hujan Menulis Ayam.

Digugat
Julukan ‘presiden’ bagi Sutardji ternyata digugat sastrawan Sitok Sre­ngenge.
“Kalau presiden, kapan berhentinya? Kapan jabatannya berakhir? Siapa wakil presidennya? Presiden itu istilah untuk jabatan politik. Ada batas waktunya. Sementara, penyair itu ranah sastra yang tidak akan pernah habis,” kata Sitok.

Sitok pun berargumen bahwa semestinya Sutardji yang selama ini nama besarnya telah mewarnai perjalanan sastra di Indonesia mendapatkan julukan yang lebih dari ‘presiden’. Komentar Sitok itu langsung disambut tepuk tangan dari para hadirin dalam ajang sastra tersebut. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya