Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Krisis Moneter 97-98 masih Bebani Negara hingga Kini

Fathia Nurul Haq
13/3/2017 18:59
Krisis Moneter 97-98 masih Bebani Negara hingga Kini
(ANTARA)

SUDAH dua dekade berlalu sejak krisis moneter 1997 yang berlanjut hingga 1998 berlalu. Namun negara masih menanggung tak kurang dari Rp244 triliun dana untuk memulihkan perekonomian kala itu.

"Sekarang sudah 2017, tapi kami bayar mahal kondisi krisis 1997-1998 yang berdampak bukan hanya pada sektor ekonomi tapi juga politik dan sosial," ungkap Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo seusai mengumumkan nama-nama calon Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di Aula Mezanine, Kemenkeu, Jakarta, Senin (13/3).

Kala itu, krisis terjadi karena kurangnya pengawasan sistem perbankan dan mekanisme pengaturan utang luar negeri dari sektor swasta yang membuat sektor moneter terpengaruh. Tata kelola industri keuangan yang buruk membuat fundamental ekonomi keropos hingga memengaruhi sektor politik yang berdampak turunnya Presiden Soeharto.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat itu negara mengeluarkan biaya hingga 75% produk domestik bruto (PDB) untuk membiayai perbaikan sektor keuangan yang terdampak.

“Tahun 1997-1998 krisis, biaya untuk benahi sektor keuangan itu mencapai 75% PDB kita. Sampai hari ini surat utang negara untuk bail out sektor jasa keuangan yang alami kerusakan itu Rp195 triliun dan Rp449 triliun. Masih ada sampai sekarang harus kami bayar, padahal itu 20 tahun lalu," sambung Sri Mulyani.

Krisis, lanjutnya, bukan hanya memukul mundur pertumbuhan ekonomi yang sudah diusahakan, melainkan juga meninggalkan beban yang terlalu berat untuk dipikul oleh negara.

Kini, 20 tahun sejak krisis 1997, nilai aset berikut kapitalisasi industri keuangan sudah mencapai Rp16.000 triliun dengan produk-produk yang sudah terdiversifikasi dan dominasi perbankan yang perlahan mulai didistribusikan ke sektor keuangan lain.

Memang, setelah era 1997, Indonesia bukan sama sekali lepas dari krisis. Tercatat sekurangnya ada dua krisis lain yang terjadi, yakni pada 2003 dan 2008. Namun dua krisis itu tidak terlalu berdampak sistemik sebagaimana krisis 1997.

Di sisi lain, dari pengalaman krisis-krisis itu, pemerintah sudah banyak belajar. Salah satunya dengan mengesahkan UU Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga pengawasan terintegrasi terhadap sistem keuangan, urat nadi dari perekonomian suatu negara.

"Hanya untuk gambarkan, jaga sektor ini karena dia penting dan tugasnya luar biasa sulit menjaga stabilitas tapi juga harus memfasilitasi atau intermediary. Maka komitmen luar biasa sangat dibutuhkan," pesan Sri Mulyani kepada para calon komisioner.

Sudah lima tahun berlalu sejak saat itu, kini isu menjaga stabilitas bertambah dengan urgensi lain seperti melahirkan regulasi-regulasi mengikuti perkembangan industri keuangan terkini dan mengupayakan diversifikasi instrumen investasi, juga opsi pembiayaan selain perbankan.

"Tugas ini tidak main-main, ini adalah beban luar biasa,” tambah Sri Mulyani. (X-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya