Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
TANPA terasa sudah hampir tujuh tahun Madhusudan Gopalan bersama keluarga tinggal dan menetap di Indonesia. Madhu, begitu pria asal India itu minta disapa, mengaku dia dan keluarganya sudah jatuh cinta pada Indonesia dengan segala budayanya.
"Anak saya dua, yang pertama usianya 2 tahun ketika kami pindah ke Indonesia pada 2010. Bahasa Indonesia adalah bahasa pertamanya. Adiknya malah lahir di sini. Mereka tahu bahwa mereka orang India, tapi Indonesia adalah rumah bagi mereka," ungkap Madhu saat ditemui di ruang kerjanya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Madhu mengaku terkesan pada alam dan keramahan Indonesia.
Namun, terus terang dia mengaku putus asa menghadapi kemacetan yang terjadi di Jakarta.
Dalam perbincangan santai, pria ramah itu mengenang pertama kali bertugas di Indonesia. Pada 2010, oleh korporasi yang membesarkannya, Procter and Gamble (P&G), ia dipercaya memegang jabatan customer business director di Indonesia.
Selang empat tahun di sini, dia dipindahtugaskan ke Thailand.
Namun, hanya dua tahun berselang, medio 2016 lalu, Madhu kembali ke Indonesia dan dipercaya menduduki jabatan sebagai Presiden Direktur P&G di Indonesia.
Jika disuruh mengomparasi antara Thailand dan Indonesia, Madhu tidak ragu memenangkan Indonesia.
Bukan hanya Thailand, bahkan pria yang pernah tinggal di Amerika Serikat dan kerap bepergian ke berbagai belahan dunia itu menilai alam Indonesia tidak ada duanya.
"Saya lebih betah di Indonesia, saya sudah pernah ke berbagai kota seperti Manado, Lombok, Nusa Tenggara, Sumatra, Jawa, kemarin saya habis dari Sentul. Saya suka jalan-jalan dan Indonesia tidak ada duanya," aku pria vegetarian itu.
Omong-omong soal vegetarian, pria yang suka menebar senyum yang hangat itu mengaku sudah menjadi vegetarian sejak kecil.
Bukan hanya dia, melainkan juga seluruh keluarganya menganut pola hidup bebas daging, termasuk dua anaknya dan istrinya.
"Awalnya karena kepercayaan kami, tetapi sekarang sudah jadi kebiasaan. Saya kira itu kebiasaan yang bagus. Jadi, kenapa tidak?"
Menjadi vegetarian yang gemar traveling tentu tantangan tersendiri.
Hal itu disebabkan tidak semua daerah menyediakan menu yang betul-betul bebas daging.
Namun, baginya, itulah salah satu alasan ia semakin mencintai Indonesia.
"Saya tinggal pesan nasi goreng saja. Favorit saya gado-gado sih."
Konsumen cerdas
Seusai berbicara soal ringan, Madhu pun lanjut memperbincangkan soal kiprahnya di P&G.
Menurut dia, P&G sudah menjajaki pasar Indonesia sejak 1970 melalui PT Richardson Merrel Indonesia (MRI) yang kemudian di 1989 berubah nama menjadi PT Procter & Gamble Home Products Indonesia.
Sebelum menakhodai P&G di sini, Madhu sudah bergabung dengan salah satu raksasa consumer goods kelas dunia itu sejak 1999.
Bahkan dia sempat dipercaya mengawal marketing produk P&G melalui jejaring miniserba walmart di Amerika, yakni pasar terbesar P&G dengan penjualan mencapai 44% dari total penjualan di seluruh dunia pada 2016.
Lantaran itu, tidak perlu heran jika membaca pasar ialah salah satu keahlian utamanya.
"Indonesia ini masyarakatnya sangat cerdas, terdigitalisasi, mereka suka membandingkan produk yang lebih bagus, bukan hanya produk-produk Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Ini yang harus dipahami soal Indonesia," demikian pendapat Madhu.
Dalam peta bisnis P&G, Indonesia masuk regional Asia-Pasifik yang meliputi ASEAN, Australia, hingga Papua Nugini dengan market share 9%.
"Bukan yang terbesar, tapi salah satu yang paling potensial," tekan Madhu.
Bisnis consumer goods memang stabil di Indonesia, dengan menilik basis konsumennya yang besar.
Lebih dari itu, Madhu memberi penekanan pada konsumen cerdas, yakni kelas menengah yang terus tumbuh sebagai bonus demografi hingga 2045 nanti.
Kelompok itu, menurutnya, sangat kritis dan relatif tidak kompromi dengan kualitas.
Basis konsumen itu, lanjutnya, juga membuat bisnis P&G di Indonesia tidak banyak terdampak turunnya daya beli di tengah gejolak perekonomian global beberapa tahun belakangan ini.
Berbeda dengan dua pasar raksasa P&G yakni Amerika Utara dan Eropa dengan market share kombinasi keduanya mencapai 67% yang cukup terdampak.
Akibat peristiwa itu, dia buka rahasia bahwa Indonesia akan menjadi market besar lainnya di masa mendatang.
"Selama kita paham apa kebutuhan konsumen, karakteristik mereka, dan karakter produk yang spesifik dibutuhkan oleh mereka, daya beli turun bukan masalah. Mereka akan tetap membeli," tukasnya optimistis.
Lantas pasar mana yang dinilainya potensial? Rupanya P&G punya ragam produk dengan target pasar yang tak kalah beragam.
Sebut saja produk skin care SK II yang lebih diperuntukkan kelas atas, sampo Head & Shoulder dengan pangsa menengah, dan alat pencukur Gillete yang cukup adaptif mengembangkan produk untuk semua kalangan.
Menurutnya, yang terpenting ialah memahami dengan spesifik kebutuhan pasar.
"Gillete, misalkan saja, untuk Indonesia ini khusus. Orang Indonesia suka produk yang tidak membuat kulitnya iritasi. Kulit sensitif adalah isu besar di sini. Sementara itu, bagi orang Eropa, yang terpenting adalah tampilan yang bersih, artinya mereka lebih butuh pencukur yang tajam ketimbang yang ramah kulit sensitif. Ini harus diperhatikan betul."
Demi mendukung rencana jangka panjang memperbesar pasar Asia Pasifik, Madhu mengungkap P&G akan menambah investasi di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas pabrik yang sudah berdiri sejak 2013 itu kendati pihaknya enggan merinci berapa nilai investasi yang akan dikucurkan dalam waktu dekat.
Iklim sehat
Memahami konsumen memang penting, tetapi iklim kerja yang sehat tak kalah penting.
Sebagai presiden direktur, Madhu memuji langkah progresif pemerintah Indonesia mendorong setaranya rasio pekerja perempuan dan laki-laki yang terbilang lebih baik ketimbang banyak negara.
P&G sudah mulai menerapkan aturan tersebut.
Saat ini di Indonesia, rasio pekerja perempuannya mencapai 46%.
"Bukan hanya yang di kantor, melainkan juga di pabrik."
Tentu saja rasio 46% itu belum ideal, sebab menurutnya semestinya rasionya imbang.
Namun, tentunya, banyak yang harus disesuaikan untuk membuat para perempuan tetap bekerja meski telah berkeluarga.
Salah satunya, kini P&G di seluruh dunia menerapkan aturan yang longgar bagi pekerja perempuan.
"Di luar hari libur, pekerja perempuan yang baru saja melahirkan diperbolehkan mengambil 1-2 hari per minggu untuk bekerja dari rumah. Mereka boleh menentukan, pekerjaan apa yang akan mereka kerjakan dari rumah," jelasnya.
Aturan itu, menurut Madhu, bukan hanya untuk memastikan rasio yang seimbang antara pekerja perempuan dan laki-laki, melainkan juga untuk mendorong institusi keluarga tetap berfungsi di tengah era industrialisasi seperti sekarang ini. (E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved