Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
INDONESIA disebut menghadapi potensi depopulasi atau penurunan jumlah penduduk akibat angka kelahiran yang terus menurun lebih cepat dari perkiraan global. Beberapa daerah seperti DKI Jakarta diproyeksikan mengalami penurunan jumlah penduduk mulai 2026, jauh sebelum prediksi nasional pada 2064.
Hal itu mengemuka dalam seminar Dari Penurunan Fertilitas ke Depopulasi yang digelar Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) dalam rangkaian acara peringatan 61 tahun berdirinya LD FEB UI.
Dalam paparannya yang berjudul From Lowering Fertility to Anticipating Depopulation: A Long-Term View of Indonesia, Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Kemendukbangga/BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto menyampaikan angka fertilitas Indonesia terus menurun dan diperkirakan mencapai 2,0 pada 2035.
“Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi, kita akan menghadapi tantangan serius pada struktur penduduk, produktivitas ekonomi, dan keberlanjutan pembangunan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (31/7).
Untuk mengantisipasi hal itu, fokus kebijakan BKKBN adalah pengendalian kelahiran melalui penguatan program KB di daerah dengan angka kelahiran tinggi. Di wilayah dengan total fertility rate (TFR) atau anak yang akan lahir terus secara moderat.
Lalu, kebijakan diarahkan untuk mempertahankan tingkat kelahiran yang seimbang. Sementara di wilayah dengan TFR rendah, langkah pencegahan penurunan berkelanjutan dilakukan melalui insentif keluarga, kebijakan migrasi, dan pemberdayaan lansia.
Selain itu, BKKBN menjalankan program Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya) dan Sidaya (Lansia Berdaya) untuk mendukung keluarga muda dan mempersiapkan layanan bagi penduduk lansia.
“Depopulasi bukan ancaman yang harus ditakuti, tetapi tantangan yang harus diantisipasi. Dengan kebijakan yang tepat, kita dapat menjaga keseimbangan jumlah dan kualitas penduduk demi masa depan,” tegas Bonivasius.
CHILDLESS
Isu childless atau tidak memiliki anak akibat infertilitas juga menjadi sorotan utama. Data menunjukkan, 10–15% pasangan di Indonesia mengalami infertilitas, yang dapat memengaruhi kualitas hidup, hubungan rumah tangga, dan kesehatan mental.
Dalam forum Policy Dialog, Riyan Hari Kurniawan (Subspesialis Fertilitas Endokrinologi Reproduksi) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM menekankan, gangguan kesuburan dapat diatasi melalui pendekatan medis (obat pemicu ovulasi, inseminasi, dan IVF) maupun kebijakan pendukung seperti cuti melahirkan bagi suami istri dan baby bonus.
“Gangguan kesuburan bukan akhir dari segalanya. Dengan penanganan yang tepat, banyak pasangan dapat mewujudkan keinginan memiliki anak,” tegas Riyan.
Namun, tantangan masih besar. Fasilitas layanan fertilitas di Indonesia belum merata, biaya obat dan teknologi relatif mahal, dan dukungan pembiayaan belum mencakup BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, Riyan mendorong agar infertilitas diakui sebagai penyakit sehingga pengobatannya dapat ditanggung BPJS dan asuransi kesehatan.
Selain penanganan, pencegahan juga penting. Edukasi prakonsepsi dan persiapan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) perlu diperkuat untuk melahirkan generasi berkualitas. “Setiap perempuan berhak atas kesehatan reproduksi. Mengatasi childless adalah bagian penting dari strategi nasional untuk menjaga keberlanjutan demografi Indonesia,” tegas dr. Riyan.
INFERTILITAS
Saat ini, sekitar 11% pasangan usia subur di Indonesia mengalami infertilitas, sementara sebagian keluarga memilih untuk tidak memiliki anak karena faktor ekonomi dan gaya hidup. Wakil Kepala Bidang Penelitian dan Pelatihan Lembaga Demografi FEB UI, Paksi C.K. Walandouw, menekankan pentingnya langkah antisipatif.
“Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang mempermudah dan mempermurah biaya membesarkan anak, memperluas layanan pengobatan infertilitas, dan mengakui infertilitas sebagai penyakit yang dapat ditanggung asuransi,” ujarnya.
Depopulasi pada tahap selanjutnya dapat berdampak serius pada tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan budaya. Menurut Paksi, pengalaman negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan pentingnya antisipasi kebijakan sejak dini untuk menghindari jebakan penuaan populasi.
Dengan langkah strategis yang tepat, Indonesia diharapkan mampu menjaga pertumbuhan penduduk yang seimbang demi keberlanjutan ekonomi dan kelestarian budaya di masa depan. (E-2)
Jakarta dan Bali diprediksi menjadi dua provinsi pertama yang mengalami penurunan jumlah penduduk (depopulasi) lebih awal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved