Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

19 Persen Tarif Trump Masih tak Adil untuk Indonesia, Pemerintah Didesak Lakukan Negosiasi Ulang

Cahya Mulyana
17/7/2025 10:21
19 Persen Tarif Trump Masih tak Adil untuk Indonesia, Pemerintah Didesak Lakukan Negosiasi Ulang
Ketua Dewan Direktur Great Institute Syahganda Nainggolan.(dok.istimewa)

PRESIDEN Prabowo Subianto dikabarkan berhasil melakukan negosiasi terkait tarif perdagangan Indonesia-Amerika Serikat. Informasi ini pertama kali muncul melalui unggahan di akun media sosial Presiden AS Donald Trump, Rabu pagi waktu Indonesia (16/7). Dalam kesepakatan tersebut, barang impor dari Indonesia dikenakan tarif sebesar 19%, sementara barang impor dari Amerika masuk ke Indonesia dengan tarif 0%.

Langkah Diplomasi?

Ketua Dewan Direktur Great Institute Syahganda Nainggolan, mengapresiasi langkah diplomasi Presiden Prabowo. Namun, ia menilai bahwa hasil negosiasi tersebut belum mencerminkan prinsip perdagangan yang adil dan setara bagi Indonesia.

“Informasi mengenai kebijakan ini masih belum jelas. Sebelumnya, Indonesia dikenakan tarif dasar sebesar 10% seperti negara lain. Dengan tambahan 19% sekarang, berarti total tarif bisa mencapai 29%,” ujar Syahganda, dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (17/7).

Tarif Resiprokal?

Meskipun Prabowo menyatakan telah berhasil menurunkan tarif resiprokal dari 32%, Great Institute menilai bahwa struktur tarif ini tetap merugikan Indonesia. Ketimpangan terjadi karena produk Amerika masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan, seiring komitmen Indonesia membuka akses penuh untuk sektor energi, agrikultur, dan manufaktur asal AS.

“Kondisi ini menunjukkan hubungan dagang yang asimetris. Produk Indonesia dikenai tarif tinggi, sedangkan produk AS masuk bebas hambatan. Ini berisiko menciptakan distorsi dalam pasar dan merugikan produsen lokal,” tegas Syahganda.

Belum Puas?

Presiden Prabowo sendiri menegaskan dalam pernyataannya bahwa ia belum puas sebelum tarif perdagangan menjadi 0% bagi kedua belah pihak.

“Saya baru puas jika tarif menjadi 0 persen,” ujar Prabowo.

Bagi Indonesia, tarif 19% bukan sekadar angka. Kebijakan ini langsung berdampak pada daya saing sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan perikanan—yang mencakup 38% dari total ekspor ke AS. Kenaikan biaya akibat tarif ini diperkirakan akan memaksa pelaku usaha mengurangi produksi, menahan ekspansi, hingga melakukan PHK.

Pasar Kecil?

Padahal, dengan pangsa pasar Indonesia di AS yang masih relatif kecil dibandingkan Vietnam (20%) dan Meksiko (30%), seharusnya masih ada peluang untuk memperluas ekspor. Namun, peluang ini hanya dapat dimanfaatkan jika didukung oleh peningkatan produktivitas, efisiensi logistik, serta perbaikan struktur biaya.

“Kapasitas industri manufaktur nasional belum siap untuk ekspansi cepat di tengah ketidakpastian tarif dan lemahnya permintaan global. Tanpa strategi industrialisasi jangka panjang, potensi keuntungan bisa berubah menjadi beban,” ujar Syahganda.

Bebas Tarif?

Ia juga menekankan bahwa kebijakan bebas tarif bagi produk Amerika justru bertentangan dengan agenda industrialisasi nasional yang dicanangkan Presiden Prabowo dalam Visi Indonesia Emas 2045. Tanpa proteksi yang memadai, produk impor AS berpotensi mendominasi pasar domestik, dari sektor otomotif hingga pertanian dan energi.

“Struktur perdagangan yang timpang seperti ini menghambat pertumbuhan teknologi dan kemandirian industri dalam negeri. Jika terus dibiarkan, ini bisa menggerus ruang bagi industrialisasi nasional,” katanya.

Negosiasi Ulang?

Untuk itu, Great Institute mendorong pemerintah agar melakukan negosiasi ulang dengan Amerika Serikat. Negosiasi ini harus dilakukan secara transparan, terdokumentasi dengan baik, dan berdasarkan perhitungan ekonomi yang menguntungkan Indonesia.

“Kami mendukung penuh langkah Presiden Prabowo untuk kembali bernegosiasi dengan Presiden Trump, demi tercapainya tarif resiprokal yang lebih adil. Setiap kesepakatan harus dituangkan secara jelas dan terbuka demi kepastian hukum dan iklim usaha yang sehat,” tutup Syahganda. (Cah)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya