SUDAH tiga tahun penghuni perumahan di kawasan Gading Serpong, Tangerang Selatan, menjadi pelanggan listrik prabayar dari PT PLN (persero). Penghuni diwajibkan mengganti meteran listrik pascabayar dengan instalasi penghitungan listrik dengan memakai pulsa (token).
"Saya kos bersama teman yang lain, awalnya masih pakai meteran, tapi tiba-tiba ada petugas PLN yang datang dan maksa kita mengganti jadi token," ujar Fenny Djaja, 24, pegawai swasta kemarin (Selasa, 8/9/2015).
Ia mengaku penggunaan token itu merepotkan karena pelanggan diharuskan mengisi ulang token sebelum pukul 23.00-01.00 WIB. Pasalnya dalam 2 jam tersebut, sistem penjualan pulsa listrik melalui anjungan tunai mandiri (ATM) beberapa bank, kantor pos, hingga agen tidak melayani pembelian token.
Ia pun heran dengan nilai pulsa token yang tidak pernah terisi penuh. Potongannya mencapai 30%. Untuk token senilai Rp100 ribu, hanya terisi Rp70 ribu.
"Kita tidak tahu yang 30% itu ke mana. Kalau terpotong administrasi, PLN mesti menjelaskan ke publik. Kalau tidak, kami jadi merasa dirugikan."
Pun ia menghitung setelah menjadi pelanggan token, dalam sebulan, biaya listrik justru membengkak. "Pengeluaran listrik biasanya hanya Rp300 ribu menjadi Rp500 ribu-Rp700 ribu."
Kejadian menggelikan pernah dialaminya akibat menunda isi ulang. "Saya mandi di pagi hari. Lagi asik bersenandung, tiba-tiba, jepret! Listrik mati. Akhirnya saya keluar cek sekering dengan berhanduk saja. Untung tidak ada yang lihat," tuturnya terbahak.
Meski begitu, imbuhnya, dengan token, pelanggan bisa mengontrol pengeluaran karena melihat potensi membengkaknya tagihan listrik. "Sekarang saya balik lagi pakai meteran, lebih nyaman. Seharusnya, pelanggan bebas memilih token atau meteran. Tidak sembarang disuruh ganti," tutupnya.
Kisah Fenny menjadi gambaran kritik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli pada Senin (7/9) yang menyebut adanya mafia yang merugikan warga dalam penjualan token listrik PLN.
Namun, Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun menuturkan pelanggan mendapatkan daya sesuai dengan tarif listrik dari pulsa yang mereka beli.
"Token Rp100 ribu dikurangi Rp1.600 (administrasi bank), dikurangi pajak penerangan jalan, yang berbeda besarannya per daerah. Untuk DKI Jakarta sekitar 2,4% (Rp2.306)), hasilnya Rp96.094. Angka itu dibagi Rp1.352/kwh (tarif listrik golongan 1.300 VA), hasilnya 71,08 kwh. Ini yang masuk ke meteran. Untuk Rp100 ribu, dapat listrik 71,08 kwh, bukan Rp71.000," jelasnya.
Menteri ESDM Sudirman Said pun mengaku tidak tahu dasar pernyataan Rizal. "Pernyataan itu tidak pernah ke PLN maupun Dirjen Ketenagalistrikan. Jadi, saya tidak tahu apa dasarnya."(Jes/Jay/E-4)