MULANYA, Larasati Widyaputri hanya berjualan suvenir wisuda dari kampus ke kampus. Saat itu, ia memulai bisnis pada 2014 bersama keempat rekannya. Laras dan teman-temannya masih memegang idealisme dengan upaya membantu UMKM lewat membeli dan menstok barang-barang produksi mereka lalu dijual secara ritel.
Dengan modal awal sekitar Rp12 juta dari bantuan program pembiayaan pemerintah, bisnis barunya itu pun goyang. Banyak barang tidak laku, sewa toko mahal, dan hampir-hampir bangkrut karena Laras tak sanggup membayar THR para pekerjanya.
“Dana Rp12 juta waktu itu fokusnya buat validasi produk. Kami waktu itu masih dengan idealisme kami, membeli produk-produk UMKM di Bali dan Jawa. Jadi stok aja, itu yang dipikirkan dan bikin bangkrut juga. Kalau berkaitan modal bangun website, karena saya bisa sendiri, saat itu paling cuma beberapa ratus ribu,” kenang Larasati Widyaputri, pendiri dan CEO Ecodoe, platform digital pengadaan business to business (B2B) untuk UMKM, saat berbincang dengan Media Indonesia melalui konferensi video, Jumat (4/2).
Seiring berjalannya waktu dan belajar dari pengalaman tersebut, Laras pun mencoba belajar dari kesalahannya. Diiringi dengan pertumbuhan internet yang penetrasinya makin baik di publik, ditambah dengan kehadiran berbagai lokapasar digital (e-commerce) pada 2016, Ecodoe pun mencoba berubah. Titik baliknya terjadi pada 2017 saat Laras ditinggal tiga ko-pendiri Ecodoe, padahal waktu pemberian THR hampir tiba.
Ketika sewa toko di kawasan kampus di area Bogor Kota sudah tidak memungkinkan, ia pun pindah ke pelosok desa. Ke daerah Balungbangjaya (Balumbang), yang akses angkotnya pun sulit. Laras juga mengubah model bisnisnya.
“Di situ saya berpikir, ini bukan lagi saatnya menyalahkan siapa pun. Itu jadi titik balik untuk mengubah pola pikir sendiri. Saya juga menanamkan ke teman-teman yang masih tersisa, harus berubah. Yang tadinya fokus ke produksi, semuanya bareng-bareng jualan. Karena enggak punya modal apa pun, dan kami akan menghadapi dunia digital, waktu itu ramai-ramai surfing di media sosial. Kalau ada poster seminar di Instagram, langsung ‘diserang’ tim marketing kami lewat Whatsapp,” sambung perempuan lulusan ekonomi sumber daya dan lingkungan IPB itu.
Ubah pola pikir
Karena rata-rata tim pekerja Ecodoe saat itu lulusan SMP-SMA, yang bahkan untuk mengetik pesan secara formal pun masih belum jadi suatu yang lazim, yang disiapkan Laras saat itu ialah mengubah pola pikir dan sikap pekerjanya. Laras mengajak para koleganya untuk meningkatkan pemahaman terkait dunia digital, mulai dari cara berkomunikasi secara digital hingga cara mempresentasikan diri mereka ke klien.
Tentu prosesnya cukup merepotkan karena Laras harus benar-benar menyiapkan para kolega kerjanya itu untuk bisa secara matang beradaptasi dengan perkembangan. Ia pun berupaya dengan pendekatan personal, seperti datang ke rumah keluarga mereka, sekadar bersilaturahim.
“Sekadar bawa makan buat keluarganya. Bangun hubungan dengan orangtua mereka. Jadi saya memenangkan hati keluarganya juga,” katanya.
Selanjutnya, ia mengajak para kolega kerjanya untuk belajar mengenali bagaimana membuat faktur (invoice), surat penawaran (quotation) yang serbadigital. Seiring waktu, pergeseran yang dilakukan pun cukup membuahkan hasil. Dalam kurun waktu 2017-2018, Ecodoe pun fokus lagi mencari klien-klien dan kembali mampu mendapat keuntungan untuk tetap bertahan.
“Baru pada 2018, kami didekati inkubator bisnis IPB untuk presentasi di Kemenristekdikti. Kami saat itu dapat pendanaan sampai Rp400 juta, punya modal lagi. Kami punya uang buat bisa scale up (memperbesar) biaya marketing, investasi teknologi seperti website dan media sosial. Bisa untung ratusan persen yang awalnya hampir bangkrut,” kata Laras.
Kesalahan pemasaran
Saat itu, satu-satunya investasi yang tersisa sejak 2014 ialah website dan media sosial Instagram mereka. Dengan adanya bantuan tersebut, kedua instrumen digital itu pun disolek menjadi lebih apik.
“Dulu pas dapat dana itu, untuk alokasi website enggak terlalu banyak, sekitar Rp25 juta-Rp50 juta. Yang lumayan besar untuk marketingnya, kami boost dengan dana hampir 50%-nya. Sisanya buat tim internal dan sumber daya.”
Namun, rupanya mengalokasikan sekitar Rp200 juta untuk pemasaran saja bukan jawaban. Malah itu jadi persoalan baru bagi Laras dan Ecodoe. Ketika itu, yang jadi fokus, dengan optimalisasi iklan, maka penjualan akan makin banyak. Akan tetapi, Laras tidak melihat kesiapan mitra UMKM yang memproduksi. Ketika itu, cuma ada 50-an UMKM yang bekerja sama dengan Ecodoe, sementara permintaan yang masuk mencapai ratusan hingga jutaan item produk pengadaan.
Akhirnya, pada 2019 Ecodoe menambah hingga 400 mitra UMKM, dan pada 2020 bertumbuh jadi 1.500 UMKM mitra Ecodoe.
Sistem dan pembagian keuntungan
Bermula dari pelaku bisnis yang jualan suvenir kebutuhan anak kuliahan, kini Ecodoe bertransformasi menjadi platform digital pengadaan barang B2B yang produknya diproduksi oleh UMKM-UMKM. Jadi Ecodoe menjadi semacam platform yang mampu menyediakan pesanan klien-klien untuk pelaku UMKM.
Nama merek produk-produk yang dihasilkan mitra UMKM itu pun atas nama Ecodoe. Hal itu dilakukan atas beberapa pertimbangan, terkait kepercayaan klien, kemampuan UMKM yang belum bisa mengakomodasi instrumen bisnisnya lebih mapan, maupun kesiapan profesionalitas bisnisnya.
“Jadi misalnya Media Indonesia ada pengadaan seragam. Kalau kami langsung berikan pesanan dari Media Indonesia ke UMKM, belum tentu MI akan percaya ke UMKM. Misalnya terkait legalitas, atau lokasi produksi dan lainnya. Tapi kalau brand gunakan atas nama Ecodoe, klien percaya. Misal berkaitan dengan pajak, skema surat jalan, dan lainnya," kata Laras mencontohkan.
Dari setiap transaksi pesanan, Ecodoe mengutip 5%-10% dari keuntungan. Ke depan, diproyeksikan mereka cuma akan mengutip 3%-5%. Rencana lainnya juga dengan turut membantu beberapa UMKM untuk bisa mentas (naik) dari kelas mereka saat ini. Dengan begitu, secara instrumen profesionalisme bisnis bisa menjadi lebih mapan dan pesanan dari klien besar bisa langsung diproses sendiri.
Jika pada 2017 omzet Ecodoe cuma Rp350 juta, saat ini per bulannya bisa mencapai Rp700 juta, dengan klien yang hampir sebagian besar berasal dari perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintahan. Pada Januari tahun ini, Ecodoe juga berhasil mengekspor produk-produk seperti ransel, giftcard, apparel ke delapan negara, yakni Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Singapura, India, Italia, Jerman, dan Arab Saudi.
Dengan omzet yang kian besar, kini Ecodoe pun memperbesar tim mereka. Dari yang semula berlima, kini ada sekitar 26 orang. Termasuk untuk merekrut divisi yang menangani konten kreatif serta mengelola instrumen digital mereka.
“Cuma ketika itu kami juga sempat outsource untuk bisa melatih dan mendampingi talent kami di bidang teknologi. Ya habis Rp200 jutaan ketika itu untuk maintenance website, bikin aplikasi, untuk jangka dua tahun.”
Meski jika berkaca dari pengalamannya instrumen digital sangat membantu perkembangan bisnisnya, Laras berpendapat banyak perusahaan startup maupun yang besar, ketika bikin solusi teknologi, malah menjadikan UMKM sebagai pasarnya. Padahal, menurutnya, masih banyak UMKM yang masih kewalahan mencari pasar mereka. Ia menilai perlunya UMKM disiapkan ke arah bisnis yang lebih profesional, termasuk dalam skema pembiayaan mereka, alih-alih dijadikan target pasar.
“Misal sesederhana ada pengadaan 1000 pcs dompet untuk KTT G-20. UMKM kadang belum bisa hitung mereka itu butuh berapa mesin, uangnya itu berapa banyak yang untuk talangi itu. Apakah mereka siap untuk bertemu dengan klien, bagaimana cara komunikasinya. Pemilik juga jangan cuma fokus dan main aman sebagai produsen, tetapi harus naik kelas dan mengubah gaya komunikasi dan cara pandang finansial," jelas Laras. (M-4)