Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
PADA pertengahan 2015 saat Melie Indarto pulang ke kampung halamannya di Pasuruan, Jawa Timur, ia berkunjung ke beberapa kampung yang identik dengan komunitas pembatik dan penenun. Namun, suasana yang ia temukan di sana tidak sesemarak seperti halnya tempat industri kain tradisional. Tidak ada pasar lokal yang mengakomodasi, ditambah nihilnya regenerasi angkatan senior pembatik dan penenun.
Melie yang lama bermukim di Jakarta dan bekerja di bidang fesyen dan pemasaran lantas melihat situasi itu sebagai peluang untuk mengembangkan usaha sekaligus membantu para perajin kain tradisional tersebut. Dia bertekad untuk menghidupkan lagi komunitas pembatik dan penenun di Pasuruan, yang beberapa di antaranya ia temui di Desa Damarjati dan Karangrejo. Melie juga menjumpai petani ulat sutra di Desa Lawang.
“Aku dari awal set up komunitasnya, juga secara digital sudah kupersiapkan. Jadi, bangun komunitas, bikin akun Instagram, website, itu jalan bareng. Jadi, aku ulas di website itu bagaimana petani sutra, pembatik, dan petani ulat sutra untuk menarik peminat, termasuk dari luar negeri, karena aku bikin ceritanya dengan bahasa Inggris,” kata Melie, Direktur Kaind, produsen produk batik tenun sutra dengan pewarnaan alam asal Pasuruan, saat berbincang dengan Media Indonesia melalui konferensi video, Rabu (2/2).
Selama hampir dua tahun, Melie membangun kembali komunitas pembatik dan penenun lokal yang hampir mati. Pada awalnya, ia sampai keluar modal Rp50 juta untuk mengongkosi itu semua. Mulai merakit alat tenun dan membeli peralatan membatik, seperti canting. Untuk membuat situs resmi, ia keluar modal Rp5 juta. Untuk membangun persona di media sosial Instagram, Melie tidak keluar modal karena ia sendiri yang bertindak sebagai kreator kontennya, termasuk menyediakan foto yang bermodal kamera ponsel, serta narasinya.
Meski ketika itu belum memulai bisnisnya secara profesional, Melie sudah ancang-ancang dengan mematenkan nama mereknya. Untuk urusan itu, ia bisa dapat gratis dengan modal membangun jejaring ke beberapa perangkat birokrasi setempat.
“Dari awal, ketika set up brand, itu usahakan jangan mengeksklusifkan diri. Harus inklusif. Jadi, kulonuwun ke kecamatan, kantor kepala desa yang tidak dikenal, mengenalkan produk ke kecamatan, lurah, dan disperindag atau kantor dinas di wilayah setempat. Dari upaya kecil-kecil itu lama-lama jadi komponen yang lengkap. Jadi, ketika ada kesempatan untuk urus soal lisensi dan segala macam, bisa dibantu. Kalau daftar sendiri, kan, per kelas bisa Rp600 ribu. Jadi, bisa menghemat,” kata Melie.
Persona digital
Pada tahap percobaan, ketika itu Melie dan pekerjanya yang total ada sekitar 20 orang, termasuk divisi manajemen, baru bisa memproduksi 20 lembar kain selama sebulan. Memang, diakui Melie, ketika itu dengan ukuran produksi tersebut sudah cukup bisa menutup modal meski marginnya tipis. Ketika itu, produk baru dijual ke lingkungan pertemanan melalui media sosial dan aplikasi perpesanan.
Barulah ketika Kaind ikut pameran pada 2017 di Jakarta selama lima hari, mereka bisa memproduksi hingga ribuan item dan mampu mengoleksi hingga Rp100 juta pendapatan dalam waktu kurang dari seminggu. Hasil itu pun lalu digunakan untuk memperbaiki lingkungan kerja di Pasuruan dan mengembangkan produk mereka. Meski tampaknya cuan besar itu didapat dari kegiatan berjualan secara luring, Melie menganggap justru peluru utamanya ada pada persona digital Kaind yang sudah dibangun sejak awal memulai usaha.
“Justru lempar bolanya itu ke online dulu, bukan offline. Kami sebagai brand baru yang muncul dari Pasuruan melempar kesiapan kami dengan show off dari konten digital. Secara online-nya itu mature dulu. Mulai website, marketplace, medsos. Itu jadi peluru kami untuk menembak ke siapa pun, baik pemerintah maupun swasta. Pentingnya set up digital dari awal, bisa mempresentasikan diri dengan baik ke pihak-pihak luar.”
Bagi Melie, ruang digital menjadi makin relevan di situasi sekarang ini, terlebih bagi pasar urban. Dengan begitu, selain produknya yang tersampaikan, pesan yang dibawa juga akan terbaca.
Saat ini, Melie memang tidak mengalokasikan bujet secara khusus untuk persona digital mereknya. Paling hanya biaya perawatan situs resmi mereka yang berada di kisaran Rp1 juta per tahunnya dan Rp150 ribuan per bulan. Untuk konten kreatif, biasanya Melie menggunakan jasa pekerja foto dan video lepas. Ketika mereknya sedang menggarap pesanan skala grosir, baru ia akan mencari fotografer untuk stok kontennya. Sekali proyek, biasanya berkisar Rp1,5 juta-Rp2 juta.
Ritel dan grosir
Kini, selain dipasarkan di situs resmi, Kaind eksis di beberapa lokapasar digital (e-commerce) seperti Tokopedia, Shopee, JD.id, dan Bhinneka. Namun, yang paling ramai memang di Tokopedia, yang telah mereka jajaki pada pertengahan 2020. Di sana, produk Kaind sudah terjual sekitar 54 item dengan semuanya memberikan bintang lima. Paling banyak memang produk selendang dan dompet (pouch). Sementara itu, di tiga lokapasar digital lain, tampaknya belum begitu banyak yang melirik.
Diakui Melie, keputusannya untuk masuk ke lokapasar digital juga disebabkan pandemi. Situasi yang hanya memungkinkan berjualan via daring membuatnya berpikir untuk menaruh ke banyak kanal dan syukur-syukur ada satu kanal tambahan yang bisa jadi andalan untuk keluar dari pandemi.
Saat pandemi, diversifikasi produk pun dilakukan Kaind dengan memproduksi masker, juga apron. Beberapa produk dibanderol berkisar pada Rp100 ribu-Rp150 ribu, sedikit di bawah rerata harga per produk Kaind yang di atas Rp200 ribu. Upaya itu pun cukup membuahkan hasil, setidaknya ada 1.000 item masker yang terjual. “Ya bisa nutup buat tiga bulan,” kata Melie, tersenyum.
Hingga saat ini kebanyakan pembeli masih dari kanal aplikasi perpesanan Whatsapp. “Setelah mereka melihat produknya di Instagram. Pesan langsung (direct message) Instagram menjadi yang kedua yang dituju pembeli, disusul di website, dan terakhir lokapasar digital,” kata Melie.
Saat pemasukan dari sisi ritel dimanfaatkan untuk kebutuhan harian, yang dari skala grosir digunakan Kaind untuk pengembangan produk. Salah satunya pengembangan divisi produk sutra untuk menjadikan serat sutra ke level fabrikasi. “Ya, kalau sekarang, itu di kisaran ada 10 project wholesale. Karena kami slow fashion, rerata pengerjaan untuk tiap project wholesale itu 1,5 bulan hingga dua bulan.”
Saat ini, omzet per bulan Kaind berkisar Rp50 juta-Rp70 juta, dari yang awalnya Rp7 juta-Rp 10 juta per bulan. Untuk salah satu proyeksi mendatang, Kaind akan mengolah 200 kg benang sutra fabrikasi untuk dijadikan produk yang sepenuhnya berbahan sutra eri.
“Terbayang, dong, 200 kg itu angka yang sangat besar untuk diolah UMKM seperti kami. Ini satu tantangan yang mendorong kami untuk berbuat lebih baik lagi. Tujuannya semoga ke depan semua produk sudah berdasar sutra eri. Tidak ada lagi rayon, atau cotton. Apakah market-nya juga sudah siap, dengan tentunya harga jualnya yang juga lebih tinggi? Semoga bisa mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak," kata Melie. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved