Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
DIREKTUR Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan, Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disepakati pemerintah dan DPR tak sepenuhnya dapat mengungkit penerimaan negara. Sebab, persoalan pajak Indonesia bukan pada tarif, melainkan sistem yang lemah dan kurang adaptif.
“Ini bukan karena soal tarif, tapi basis penerimaan perpajakan kita belum mampu menangkap perkembangan aktivitas perekonmian riil, banyaknya informal ekonomi atau digital ekonomi yang memang belum tertampung di sistem perpajakan kita,” ujarnya dalam diskusi daring bertema Menakar Untung Rugi RUU HPP, Rabu (6/10).
Baca juga: Serap 200 Ribu Pekerja, Industri Batik Hasilkan Rp7,5 Triliun
Tauhid bilang, salah satu yang paling terlihat ialah ketidakmampuan sistem pajak Indonesia menghadapi perkembangan ekonomi digital. Kendati banyak wacana yang terlihat agresif untuk menarik semua potensi pajak digital, hal itu dinilai belum mampu direalisasikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia.
Namun dia mengakui hal itu sejatinya juga terjadi di banyak negara. Dilema pajak ekonomi digital memang masih menjadi topik hangat di ranah internasional. “Banyak negara melakukan kesepakatan yang belum dipenuhi. Misalnya anatara negara penghasil teknologi atau konsumen yang memanfaatkan data tersbebut,” terang Tauhid.
Selain gagal menangkap peluang pajak di ekonomi digital, Indonesia juga dianggap urung mampu menjaring peluang pajak di sektor-sektor informal. Sektor jasa misalnya, banyak yang belum masuk ke dalam ekosistem pajak nasional.
Persoalan lain dari pertumbuhan pajak yang tersendat ialah tingginya belanja pajak, atau insentif perpajakan. Tauhid bilang, belanja perpajakan yang sekitar Rp230 triliun telah mengikis potensi penerimaan negara. Alih-alih masuk ke kantong negara, uang itu justru dialihkan ke dalam insentif perpajakan.
“Itu uang yang seharusnya dipungut bisa menjadi peneirmaan negara, tapi tidak dipungut. tu yang menyebankan insentif perpajakan kita cukup besar dan itu juga salah satu masalah ketika memang kita belum bisa lebih efisien lagi,” tutur Tauhid.
Hal lain yang menyebabkan lemahnya penerimaan pajak Indonesia ialah menyoal kepatuhan wajib pajak. Dari catatan Indef, kepatuhan wajib pajak badan di Indonesia baru mencapai sekitar 55% dan kepatuhan wajib pajak orang pribadi sekitar 70%.
Data itu menurutnya masih menunjukkan rendahnya kepatuhan wajib pajak. Belum lagi upaya ekstensifikasi pajak, atau penambahan jumlah wajib pajak sebagai basis perpajakan masih belum optimal.
Tauhid juga bilang, berbagai persoalan tersebut merupakan cerminan lemahnya sistem pajak Indonesia menggali potensi yang ada. Hasilnya, rasio pajak justru mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
“Trennya memang tax ratio kita semkain menurun, apakah ini bisa dijawab dengan kenaikan tarif, terutama PPN? ini yang menjadi catatan dan kita lihat memang tarif pepajakan kita atau tax ratio kita termasuk rendah dibandingkan negara-negara OECD atau bahkan negara maju lainnya,” jelas Tauhid.
Sementara itu Peneliti Center of Industry, Trade, and Invesment Indef Ahmad Heri Firdaus mengaku khawatir beberapa poin dalam RUU HPP dapat berimplikasi pada disinsentif terhadap agenda pemulihan ekonomi Indonesia. Dia menyoroti ihwal kenaikan tarif PPN yang dianggap dapat melemahkan daya beli masyarakat dan mengganggu performa industri Tanah Air.
“Kalau kita lihat dampak dari kenaikan PPN tentu ini akan berdampak pada kenaikan biaya produksi dan ongkos konsumsi masyrakat sehingga ini akan menyebabkan daya beli melemah. Kalau daya beli melemah maka utilisasi penjualan ritel akan melemah,” jelasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved