Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
Aroma sedap menguar dari dapur rumah yang dihuni Fadel Mohammad Dafa, 21, dan kedua orang tuanya di kawasan Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat pada Kamis (28/1). Aneka rendang, daging sapi, paru hingga limpa diolah dengan 14 bumbu sampai bertekstur kering hingga awet lebih dari sebulan di suhu ruang. Ada pula dendeng batokok, irisan daging sapi yang dibalur cabai hijau yang diulek kasar. Semuanya diolah dengan resep dan teknik warisan keluarga Fadel yang berasal dari Indarung, Kota Padang, Sumatra Barat.
Jika urusan memasak dikerjakan orangtua Fadel yang sempat memiliki warung padang yang kini telah tutup, maka Fadel fokus pada urusan kemasan dan pemasaran. “Kami sempat punya warung padang namun kini sudah tutup. Lalu kami diskusi, keterampilan memasak resep keluarga itu harus diteruskan tapi dalam konsep yang lebih efisien sehingga kami memutuskan membuat Rendang Bacarito ini. Kata Ibu, di Minang itu ada 18 bumbu rahasia untuk membuat rendang, nah kami membuatnya dengan 14 bumbu, jadi sudah mendekati rasa paling orisinal, sementara yang kebanyakan di jual di restoran dan rendang kemasan itu hanya 10 bumbu. Itu yang membuat saya optimistis pada Rendang Bacarito,” kata Fadel kepada Media Indonesia, Sabtu (30/1).
Rendang Bacarito, ketika zakat bersua semangat berwirausaha
Fadel yang memulai bisnis Rendang Bacarito memanfaatkan momentum kecenderungan orang lebih merasa aman bersantap dari rumah saat meluncurkan usahanya di masa pandemi. Ketika itu pula, Fadel yang lulusan ekonomi syariah dan mengikuti Instagram Baznas @baznasindonesia, pada Juli 2020, melihat pengumuman rekrutmen Baznas Millenial Prenuer (BMP). Ia pun segera mendaftar. Program itu menyasar anak-anak muda yang bisnisnya bangkrut karena pandemi covid-19, memiliki usaha tapi tak punya mentor, ingin belajar jadi pengusaha tapi tak punya biaya serta mereka yang ingin meningkatkan skala usaha tapi tak paham strategi. Program tak berbayar yang juga menyeleksi peserta berdasarkan kondisi ekonominya, untuk memastikan bantuan tepat sasaran ini juga memberikan bantuan modal sekitar Rp8,5 juta untuk setiap peserta.
“Setelah mengisi formulir dan menyerahkan proposal usaha, lengkap dengan foto kondisi rumah dan lokasi usaha, saya melalui uji seleksi melalui wawancara dan kemudian dinyatakan lolos,” kata Fadel.
Terdapat beberapa kelas pelatihan, di anatarnya dipandu para pengusaha, di antaranya pendiri Es Teh Indonesia Danu Sofwan, Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Mustahik (LPEM) Baznas Deden Kuswanda, pendiri Kampung Marketer Nofi Bayu Darmawan, serta pendiri PT Rambut Nenek Indonesia Ryan Angkawijaya. Kegiatan ini menjadi salah satu penanda eksistensi Baznas sebagai pilihan pertama pembayar zakat sekaligus menyejahterakan umat.
“Ada beberapa kelas pelatihan yang dikuti kami bersama-sama, juga ada grup WhatsApp untuk berbagi pengalaman dengan sesama alumni, seru karena sefrekuensi jadi saling menyemanganti. Ada juga pelatih yang memandu saya secara intens dan berdiskusi privat yaitu Coach Sri,” kata Fadel yang salah satu masukan yang didapatnya selama pelatihan yang kemudian diimplementasikannya adalah teknik pengemasan.
Rendang Bacarita kini dikemas dalam vakum untuk menghilangkan udara dan dilapisi alumunium foil dengan desain huruf dan logo merek yang bergaya kekinian. Resmi dirilis ke pasar pada 1 Januari, Fadel mengemasnya masing-masing seberat 250 gram seharga Rp85 ribu untuk rendang dan dendeng batokok dan Rp 75ribu untuk rendang paru dan limpa.
”Modal yang diberikan saya gunakan untuk membeli alat vakum, kemasan, biaya endorse dan iklan. Jika sudah berkembang, tahapan berikutnya harus mengurus perizinan Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) dan sertifikat halal,” kata Fadel yang memilih berjualan lewat medium Shopee, Instagram dan Facebook.
Sudah terjual sebanyak 50 pcs sejak beroperasi awal Januari lalu, Fadel mengaku mempraktikan nasihat sang mentor untuk benar-benar berkomitmen ketika sudah mendaftar di satu medium e- commerce. “Saat ini saya ada di Shopee dan belum berani buka di e-commerce lain karena menurut Coach Sri, jika terlalu banyak, jika ada pertanyaan dan tidak buru-buru dijawab, pembeli akan pindah ke pedagang lain. Jadi, harus diurus semaksimal mungkin apalagi penjual rendang di toko daring juga sudah banyak dan sebagian milik artis, jadi harus diurus dengan baik,” kata Fadel.
Bermodal tiga juta kini punya tiga karyawan
Kisah tentang pemuda penerima manfaat, juga dialami Badrutamam. Kini, ia telah sampai dalam tahapan mengalirkan kembali sebagian rezekinya bagi sekitar. Tamam, mahasiswa tingkat akhir asal Madura semula sosok berlatih menyiasati kehidupan dengan berhemat sekaligus memaksimalkan nilai ibadahnya. Ia tinggal di mushala dan menjadi marbot di sana. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya yang sudah berusia tujuh puluh tahun membuat Tamam bertekad mandiri, ia pun mengajari anak-anak sekitar mengaji. Baginya, hidup harus memberikan kebermanfaatan.
Menjelang lulus kuliah, Tamam memperoleh informasi tentang program pelatihan digital marketing dari Baznas. Ia pun mendaftar dan akhirnya menjadi penerima manfaat serta tergabung dalam kelompok Marketing House Baznas serta mendapat pelatihan pun modal usaha Rp3 juta. Ia berjualan tas sarung kursi mobil.
Sukses menyingkirkan keraguan dan tekun belajar, Tamam berhasil mengirim uang Rp500 ribu hasil berjualan kepada ibunya di kampong yang sebagian disedekahkan agar berkah. Setelah tiga bulan pesanan terus meningkat dan omset nya minimal Rp300 ribu rupiah hingga Rp800 ribu per hari.
Tak lupa untuk mengalirkan kembali manfaat yang sempat ia terima, Tamam menyisihkan 10% dari profit harian untuk disedekahkan ke asrama alumni pesantren maupun asrama organisasi daerah asal kampungnya. Ia pun kini memperkerjakan dua petugas pelayanan dan satu orang untuk mengemas.
Syifa Khimar berkonsep wirausaha sosial
Masih dari Ciputat, ada pula Syifani Wirianisa, 22, peserta Millenial Preneur Baznas berjuang di antara kain jenis wolfis dan double hycon, bahan bakunya membuat kerudung yang dijualnya melalui tokonya di Instagtram Khimarsyifa yang berslogan Pusat Khimar Berkulitas dari kamar asramanya.
Mahasiswa yang tengah menyusun skripsinya di Jurusan Manajemen Dakwah, Konsentrasi Lembaga Manajemen Lembaga Keuangan Syariah, Universitas Islam Negeri Ciputat, Banten ini mengaku mengusung konsep wirausaha sosial dalam bisnisnya. “Aku dan tim yang semuanya berjumlah lima orang itu berbagai tugas di keuangan, pemasaran dan desain, sementara untuk produksi kami bermitra dengan empat penjahit, para ibu yang sekarang juga sempat membuat masker kain,” ujar Syifa yang mengaku mulai merintis usahanya sejak masih sekolah di Jurusan Kimia Analis SMK Negeri 5 Kota Bekasi, Jawa Barat.
Terinpirasi berbisnis karena merasa memiliki jaringan pergaulan yang luas sebagai Ketua Rohani Islam saat SMK, Syifa yang kemudian menggandeng teman-temannya untuk membentuk tim itu sempat meraih omset tertinggi hingga Rp 2 juta-5 juta per bulan, dengan menjual 100-200 buah pada masa lebaran.
“Tapi saat itu masih terbentur modal, sehingga ketika ada pengumuman BMP aku langsung daftar dan kita dapat banyak ilmu, branding, tapi yang paling berharga adalah bertemu kawan seperjuangan dan pelatih yang juga praktisi di lapangan sehingga bisa berkonsultasi. Aku sendiri berencana intens lagi pelatihan Februari in karena memang coach bilang harus fokus, nggak bisa menyambi, harus bisa manajemen waktu,” kata Syifa yang menjual produknya seharga Rp50 ribu.(X-16)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved